Oleh Apriadi Gunawan 

Thomson Ambarita tidak terima ketika laporan tindak pidana penganiayaan atas dirinya dihentikan oleh Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Resor (Polres) Simalungun. Warga Masyarakat Adat Sihaporas dari Tano Batak yang menjadi korban penganiayaan oleh Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL) tersebut, mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Simalungun. 

Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak selaku pendamping korban, mengatakan bahwa gugatan praperadilan itu terkait penghentian penyidikan laporan pidana oleh Thomson Ambarita yang telah menjadi korban penganiaayaan Humas TPL Bahara Sibuea. Hengky menyatakan, Thomson Ambarita selaku korban kekerasan tidak terima laporannya dihentikan oleh pihak kejaksaan dan kepolisian setempat, sehingga memutuskan untuk mengajukan gugatan praperadilan.  

“Thomson Ambarita menggugat Kejaksaan Negeri Simalungun dan Kepolisian Resor Simalungun karena tidak terima laporan tindak penganiayaan dirinya dihentikan,” kata Hengky usai mendaftarkan gugatan praperadilan Thomson Ambarita ke Pengadilan Negeri Simalungun pada Rabu (16/3/2022).

Thomson ditemani kuasa hukum dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) serta Masyarakat Adat Sihaporas dari AMAN Tano Batak saat mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Simalungun.

Hengky menjelaskan bahwa dirinya bersama kuasa hukum, mengajukan praperadilan supaya pihak pengadilan menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Simalungun dan Kepolisian Resor Simalungun. Ia berharap pengadilan bisa menegakkan hukum dan keadilan atas gugatan praperadilan.

“Kami berharap korban Thomson Ambarita bisa mendapatkan keadilan pada sidang gugatan praperadilan nanti,”ujarnya. 

Hengky menuturkan bahwa gugatan praperadilan yang didaftarkan korban membuktikan kalau konflik struktural antara Masyarakat Adat dan pemerintah serta perusahaan masih terus berjalan.

“Ini menunjukkan bahwa keadilan bagi Masyarakat Adat itu belum terpenuhi,” ujar Hengky.

Menurut Hengky, mereka bersama Masyarakat Adat Sihaporas dan Aliansi Mahasiswa se-Kota Pematangsiantar, Simalungun, menentang keras tindakan kejaksaan dan kepolisian yang telah menghentikan pengaduan korban Thomson.

Hengky mengatakan bahwa dalih dari Kejaksaan Negeri Simalungun dan Polres Simalungun atas laporan Thomson Ambarita yang dihentikan karena tidak cukup bukti, sangat tidak masuk akal. Sebab, dalam proses penyelidikan dan penyidikan atas laporan korban, sudah diberikan alat bukti berupa keterangan saksi, foto, video, dan visum.

“Dari semua alat bukti itu, Polres Simalungun telah menetapkan Humas TPL Bahara Sibuea sebagai tersangka pada 27 Mei 2020. Lalu, mengapa sekarang justru polisi menganulir penetapan tersangka itu? Ada apa ini?” ungkap Hengky.

Atas kejanggalan tersebut, papar Hengky, mereka berharap Polres Simalungun konsisten terhadap keputusannya terdahulu.

“Jangan plinplan seolah terkesan diintervensi pihak tertentu,” sindirnya.

Menurutnya, Polres Simalungun harus merdeka dalam berpikir dan bertindak dengan menjaga kredibilitas institusi dan jangan terkesan meludah di atas muka sendiri.

Harapan yang sama disampaikan oleh kuasa hukum Thomson Ambarita dari Bakumsu Roy Marsen Simarmata terhadap Pengadilan Negeri Simalungun, khususnya hakim tunggal yang nantinya akan menangani perkara gugatan praperadilan itu.

“Kami berharap hakim dapat bekerja secara profesional dan memberikan putusan yang seadil-adilnya,” ujar Roy Marsen Simarmata.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak meminta aparat penegak hukum untuk bertindak adil terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, kasus penganiayaan Thomson Ambarita harus diselesaikan secara berkeadilan, di mana pelaku harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku.

“Ini tidak adil,” tandas Roganda sembari mendesak aparat penegak hukum yang harus mengusut tuntas persoalan di balik penghentian laporan korban di Kejaksaan Negeri dan Polres Simalungun serta dianulirnya status pelaku sebagai tersangka.  

Roganda menjelaskan bahwa kasus penganiayaan yang dialami Thomson Ambarita pada 16 September 2019. Saat itu, Masyarakat Adat Sihaporas sedang melakukan penanaman di atas wilayah adat. Namun, secara tiba-tiba, datang Humas TPL Bahara Sibuea bersama staf keamanan perusahaan yang melarang kegiatan penanaman di wilayah adat yang diklaim sebagai kawasan konsesi TPL.

Bentrokan pun terjadi antara Masyarakat Adat dan pihak TPL dengan mengakibatkan sejumlah warga Masyarakat Adat Sihaporas dan pegawai TPL, mengalami luka-luka. 

“Anehnya, Polres Simalungun hanya menindaklanjuti laporan pidana dari TPL serta memenjarakan dua orang anggota Masyarakat Adat Sihaporas. Ini berbanding terbalik dengan laporan korban dari Masyarakat Adat Sihaporas yang dihentikan Kejaksaan Negeri dan Polres Simalungun. Silahkan, kita nilai di mana letak keadilan itu,” kata Roganda.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Tano Batak Thomson Ambarita Polres Simalungun