Oleh Simon Welan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga (AMAN Nusa Bunga) mengaku sangat kecewa dengan sistem pelayanan publik yang diberikan oleh Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena tidak dapat memberikan jadwal waktu yang pasti kepada AMAN dan utusan perwakilan Masyarakat Adat se-Kabupaten Ende untuk melakukan audiensi dengan bupati, wakil bupati, sekretaris daerah (sekda), staf ahli, dan asisten setda di Kantor Bupati Ende.

Kehadiran AMAN bersama perwakilan Masyarakat Adat se-Kabupaten Ende tersebut dilakukan dalam rangka Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan 23 Tahun AMAN yang semestinya telah dijadwalkan dalam agenda kegiatan bupati, wakil bupati, maupun sekda, di mana surat permohonanan untuk itu telah dikirimkan sejak hari Jumat, 11 Maret 2022 yang lalu.

“Surat permohonan dari AMAN untuk melakukan audiensi dengan bupati, wakil bupati, sekda, dan/atau penjabat lain, telah kami antar dan seharusnya hari ini kami telah diberi ruang dan waktu untuk melakukan audiensi tersebut,” kata Philipus Kami, Ketua AMAN Nusa Bunga, di hadapan para jurnalis di lobi Kantor Bupati Ende pada Rabu (17/03/2022).

Philipus yang kecewa dengan pelayanan publik tersebut mengatakan bahwa kedatangan AMAN bersama utusan perwakilan Masyarakat Adat adalah untuk melakukan audiensi dengan Bupati Ende serta menyampaikan beberapa hal penting terkait Masyarakat Adat di NTT, khususnya Kabupaten Ende.  Selain itu, AMAN juga hendak menyampaikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Ende terkait Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA) Kabupaten Ende yang sudah lima tahun ditetapkan, namun belum diimplementasikan dalam rangka melindungi Masyarakat Adat di Kabupaten Ende dari berbagai konflik agraria maupun kehutanan yang melibatkan Masyarakat Adat dan investor atau korporasi, Masyarakat Adat dan pemerintah, maupun Masyarakat Adat satu dan Masyarakat Adat lainnya.

Philipus menjelaskan bahwa, meskipun Perda tersebut sudah berjalan lima tahun, namun belum ada pengejawantahan dari Perda tersebut hingga saat ini, sehingga pihaknya meminta agar Bupati Ende segera menyikapinya dan membentuk Peraturan Bupati (Perbup) dan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Panitia Masyarakat Adat agar dapat segera bekerja dalam melakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi Masyarakat Adat sesuai dengan persyaratan yang dimandatkan oleh Perda.

Berbagai perwakilan Masyarakat Adat se-Kabupaten Ende, NTT yang hendak beraudiensi dengan Bupati Ende. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Karena ada beberapa kasus yang timbul di berbagai wilayah di Flores-Lembata maupun NTT pada umumnya, hingga saat ini masih terus menimpa Masyarakat Adat. Maka, pada momentum ulang tahun AMAN ini, kami meminta agar diskriminasi, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, segera dihentikan,” kata Philipus Kami.

Lebih lanjut aktivis Lingkungan dan Masyarakat Adat itu menegaskan bahwa hingga saat ini terdapat banyak Pemda di NTT yang belum melakukan implementasi Permendagri No. 52 Tahun 2014 yang terkait dengan pendataan Masyarakat Adat. Sehingga, pada momen Perayaan HKMAN ini, AMAN mengingatkan kembali Pemda untuk segera membuat kebijakan terkait dengan implementasi Permendagri tersebut.

“Problem di wilayah Nusa Bunga yang paling banyak saat ini, adalah problem agraria, kehutanan, dan lingkungan hidup, sehingga AMAN mendesak agar pemerintah segera membentuk kebijakan agar tidak terjadi konflik antara Masyarakat Adat dan badan atau dinas terkait,” tutur mantan Anggota DPRD Ende selama dua periode itu.

Ia meminta agar dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah juga harus mengedepankan kolaborasi program pembangunan yang melibatkan Masyarakat Adat agar seluruh proses perencanaan pembangunan memiliki keseimbangan dalam menentukan arah kebijakan.

Senada dengan Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Nusa Bunga, kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Ketua Dewan AMAN Daerah Flores Bagian Tengah Fransiskus Ratu yang turut hadir dalam rencana audiensi tersebut. Ia menuturkan bahwa seharusnya Pemda telah menyiapkan waktu untuk dapat bertemu dengan Masyarakat Adat yang datang melakukan audiensi guna menyampaikan aspirasi, apalagi rencana kedatangan tersebut telah dikabarkan sebelumnya.

Frans Ratu sesungguhnya berniat untuk menyampaikan kepada Pemda terkait Perda PPHMA yang sudah disahkan sejak 2017, namun belum dilaksanakan secara utuh hingga saat ini.

Mosalaki Mukureku itu juga mengungkapkan kalau dirinya saat itu terlibat langsung dalam setiap pertemuan atau diskusi (FGD) terkait pembahasan Perda itu, sehingga ia turut kecewa dengan Pemda Kabupaten Ende yang tidak menggubris keberadaan dokumen penting yang mengatur tentang Masyarakat Adat di Kabupaten Ende.

“Jujur, kami yang terlibat langsung dalam pembahasan Perda ini, cukup kecewa jika sampai hari ini implementasi pelaksanaan Perda itu tidak ada sama sekali,” ungkap Frans.

Pihaknya berharap Pemda Kabupaten Ende dapat lebih peduli dalam memperhatikan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya agar konflik agraria maupun kehutanan tidak terus terjadi di Kabupaten Ende.

***

Penulis adalah Biro Infokom AMAN Nusa Bunga. 

Writer : Simon Welan | Nusa Bunga
Tag : AMAN Nusa Bunga HKMAN Philipus Kami Sekda Ende