Oleh Apriadi Gunawan

Rakyat Indonesia mendaftarkan gugatan Judicial Review atas Undang-Undang No. 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (1/4/2022).

Selain AMAN, gugatan tersebut juga diinisiasi oleh sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kalangan akademisi, tokoh adat, dan lain-lain yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN). ARGUMEN menilai bahwa proses pembentukan UU IKN itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, partisipasi publik, dan kedayagunaan-kehasilgunaan.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, hari ini AMAN mengajukan uji formil terhadap UU IKN karena UU itu telah berdampak luas secara langsung terhadap Masyarakat Adat.

“Di sana (lokasi IKN), anggota komunitas Masyarakat Adat AMAN dihilangkan identitasnya oleh UU IKN. AMAN sedang mempelajari apakah Masyarakat Adat Suku Balek (yang berada di lokasi yang ditetapkan sebagai IKN) statusnya terancam punah atau tidak,” kata Rukka usai mengajukan uji formil terhadap UU IKN di MK.

Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada keputusan yang akan berdampak terhadap hidup kita (sebagai Masyarakat Adat), tanpa sepengetahuan kita dan persetujuan bebas tanpa paksaan yang didasari oleh informasi yang jelas. Itu harus terpenuhi karena itu adalah hak Masyarakat Adat.

“Proses pembentukan UU IKN tidak memenuhi syarat-syarat itu, sehingga hak konstitusional Masyarakat Adat yang diakui oleh UUD 1945, tidak terpenuhi. Tidak ada partisipasi secara penuh dan efektif dari Masyarakat Adat maupun dari AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat,” tandasnya.

Menurutnya, itu adalah bentuk dari pengingkaran hak Masyarakat Adat saat ini, khususnya di tengah ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Adat. Rukka berharap rakyat Indonesia akan memenangkan gugatan tersebut.

“Mudah-mudahan, Majelis Hakim mengabulkan permintaan ini,” katanya sembari memohon doa restu dari seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh Masyarakat Adat Indonesia.

Rukka mengatakan bahwa tidak adanya partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat dalam pembentukan UU IKN, adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat di Indonesia. Ia menegaskan bahwa pembangunan IKN tanpa persetujuan atau free prior and informed consent (FPIC) dari Masyarakat Adat.

“Ini pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna terhadap penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN,” tandasnya.

Ia menyatakan bahwa IKN menjadi penegasan terhadap watak pemerintah yang berkuasa hari ini, sebagai pemerintah yang otoriter sekaligus tunduk pada kepentingan para oligarki.

“Regulasi hukum di rezim pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI telah dibajak segelintir oligarki untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka dan ironisnya rakyat diabaikan,” ujarnya.

Kuasa Hukum ARGUMEN dari AMAN, yaitu Muhammad Arman, mengatakan bahwa UU IKN dibahas secara superkilat dalam 17 hari. Menurutnya, DPR RI dan pemerintah tidak memberi ruang partisipasi publik yang baik, padahal merekalah yang paling banyak menanggung implikasi dari regulasi predatoris itu.

Arman menegaskan bahwa UU IKN yang  telah disahkan DPR tersebut bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurutnya, regulasi itu tidak punya kebermanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga.

Ia juga menyebut bahwa secara umum UU IKN bertentangan dengan delapan pasal dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi falsafah dalam proses penyusunan hukum di negara ini. Pasal tersebut antara lain Pasal 1 ayat (2), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28I ayat (3).

UU IKN juga telah menempatkan Masyarakat Adat semakin terpinggirkan sebab komunitas Masyarakat Adat tidak pernah diajak bicara, padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan IKN. Bahkan, kata Arman, alokasi wilayah yang telah ditetapkan pemerintah untuk kawasan IKN, mencapai 256.142 hektar, di mana di dalamnya juga terdapat kehidupan Masyarakat Adat.

Arman mencontohkan seorang ibu bernama Dahlia dari Suku Pasir Balik, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur yang turut mengajukan gugatan uji materil karena rumahnya dipatok sebagai kawasan IKN.

“Ibu itu terkejut mengetahui rumahnya tiba-tiba sudah dipatok jadi lokasi IKN. Ini ‘kan aneh! Tidak ada pemberitahuan, tapi sudah main patok,” katanya.

Uli Arta Siagian dari WALHI mengatakan bahwa sejak awal UU IKN sudah bermasalah sebab dalam proses penyusunan, pembahasan, dan penetapan, UU itu tidak melibatkan kelompok Masyarakat Adat dan masyarakat sipil lainnya. Selain itu, penilaian akan dampak lingkungan yang diberikan oleh organisasi lingkungan terkait dengan pembangunan IKN, juga tak didengar oleh pemerintah.

“Kita sudah sampaikan dampak sosial, ekologis, dan efek domino yang akan terjadi jika pembangunan IKN dilanjutkan. Tapi, semua itu dibaikan oleh pengurus negara,” kata Uli dalam konferensi pers di MK pada hari yang sama.

Sebelumnya, gugatan terhadap UU IKN juga sudah dilayangkan oleh mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan sejumlah pemohon pada 1 Maret 2022 lalu. Saat ini, gugatan itu masih bergulir di MK.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : UU IKN Mahkamah Konstitusi ARGUMEN