Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Negara-negara di dunia, termasuk di antara mereka adalah Group of Seven atau G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) serta Uni Eropa, belakangan ini mengumumkan sebuah inisiatif baru yang disebut dengan 30 by 30 (30x30) yang menekankan kepada pemerintah untuk mendesain 30 persen luas daratan dan perairan bumi sebagai area konservasi (protected areas) pada 2030 nanti. Dalih atas inisiatif tersebut adalah kebutuhan terhadap perluasan konservasi alam demi melakukan mitigasi perubahan iklim. Tentu saja, itu menimbulkan kontroversi dan kecaman keras, terutama dari Masyarakat Adat terkait dengan pemenuhan hak Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.

Dalam merespons target tersebut, sebuah kelompok yang beranggotakan lima negara dan 17 donor, mengumumkan komitmen terhadap investasi pendanaan sebesar AS$1,7 miliar guna mendukung Masyarakat Adat dan masyarakat lokal untuk melindungi hutan. Meski begitu, komitmen yang diutarakan pada perhelatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP26 pada November 2021 itu, belum memiliki strategi dan implementasi yang jelas terkait pada bagaimana dana akan bisa sampai ke Masyarakat Adat dan masyarakat lokal serta ketentuan kondisi seperti apa yang akan diterapkan. Sementara itu, sebanyak 70 negara di dunia telah menyatakan dukungannya atas inisiatif 30x30 itu pada akhir tahun lalu.

Pada sebuah seminar daring (webinar) bertajuk “Indigenous Voices on the Global 30x30 Initiative and Philantropy’s Response Confirmation” (Suara-suara Masyarakat Adat terhadap Inisiatif 30x30 Global dan Konfirmasi Respons Filantropi) pada 27 April 2022, sejumlah pimpinan dan perwakilan Masyarakat Adat di dunia, ikut menyuarakan kritik atas itu.

Kritik atas Inisiatif 30x30

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi yang hadir sebagai pembicara, mengutarakan bahwa model konservasi yang ada sebelumnya telah terbukti gagal menghormati dan melindungi hak Masyarakat Adat. Menurutnya, “konservasi” sudah jadi bagian dari kolonisasi terhadap Masyarakat Adat, terutama di Asia.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Laporan dari Pelapor Khusus PBB, telah menunjukkan bagaimana model konservasi, merampas wilayah adat dan menghilangkan mata pencaharian Masyarakat Adat, bahkan terjadi kriminalisasi, pembunuhan, dan pengusiran atas nama konservasi,” tegas Rukka.

Ia mengungkapkan bahwa model konservasi yang ada saat ini memang jauh dari upaya terhadap penghormatan hak Masyarakat Adat, termasuk kedaulatan Masyarakat Adat atas ruang hidupnya, wilayah adatnya, dan sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya. Rukka juga mengkritik berbagai organisasi besar yang bergerak di bidang konservasi, meski mereka telah menyatakan komitmen untuk memperbaiki diri, namun hal tersebut masih sebatas komitmen di atas kertas.

Kritik tersebut mempunyai alasan yang kuat untuk menghubungkannya pada kasus-kasus kekerasan maupun pelanggaran hak terhadap Masyarakat Adat yang marak terjadi di berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia yang menjadi salah satu negara di Asia yang paling gigih menentang dan menyangkal keberadaan dan hak Masyarakat Adat.

“Di Indonesia, meski AMAN sudah memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) (untuk menegaskan) kalau kami punya hak di dalam wilayah adat, termasuk hutan adat (Putusan MK 35), tapi baru sekitar 60 ribu hektar yang dikembalikan dalam bentuk hutan adat,” ungkap Rukka pada webinar yang dimoderatori oleh Suzanne Benally dari The Swift Foundation. “Berbagai undang-undang yang ada, termasuk Undang-Undang Konservasi SDA dan Undang-Undang Lingkungan Hidup, digunakan untuk menyingkirkan Masyarakat Adat dari wilayah adatnya.”

Perempuan berdarah Toraja itu juga menyinggung bahwa model kemitraan kehutanan yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah dipilih pemerintah sebagai strategi untuk tidak mengembalikan wilayah adat yang selama ini diklaim menjadi kawasan hutan. Rukka menegaskan, jika kita berbicara dampak dari upaya konservasi dengan menggunakan model yang ada sekarang, maka hal tersebut hanya akan menimbulkan dampak buruk terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, 30x30 akan menjadi upaya terhadap perampasan wilayah adat secara besar-besaran atas nama konservasi.

Bagi Masyarakat Adat, konservasi sejatinya adalah bagian dari gaya hidup, tradisi, dan keseharian yang melekat. Itu bukan hanya dikarenakan sumber penghidupan Masyarakat Adat yang tergantung pada alam sekitar, tetapi juga cara pandang, budaya, spiritualitas, dan beragam aspek lain yang menghubungkan Masyarakat Adat dengan keseimbangan alam yang lestari secara utuh dan menyeluruh.

Shapiom Noningo Sesen yang hadir pula sebagai pembicara mewakili Masyarakat Adat di Peru, melontarkan gugatan atas model konservasi berideologi Barat yang menurutnya hanya akan melanjutkan kerusakan terhadap alam dan membawa kita pada kepunahan karena mengabaikan partisipasi Masyarakat Adat di dalamnya.

Ia bilang, “Bagaimana mungkin mereka mengatakan bahwa ini strategi yang penting dan efektif dalam isu konservasi dengan memproteksi suatu area, tapi tanpa menyinggung Masyarakat Adat yang telah hidup di dalamnya serta menjaga dan merawat wilayah tersebut. Sementara itu, pemerintah terus menghancurkan hutan melalui perusahaan minyak bumi, tambang, gas, dan lain-lain.” Shapiom menambahkan bahwa 30x30 menjadi semacam kemunafikan pemerintah dan suatu standar ganda terhadap urusan pelestarian lingkungan maupun mitigasi perubahan iklim. Dengan tegas ia mengatakan, inisiatif tersebut tidak akan efektif di Peru.

Hal serupa juga ditegaskan oleh Relmu Namku dari Argentina. Di sana, kasus-kasus kekerasan terhadap Masyarakat Adat juga semakin meningkat dengan terjadinya penembakan terhadap Masyarakat Adat oleh polisi baru-baru ini.

“Kami percaya bahwa kerangka konservasi yang ada itu mengancam atau membahayakan Masyarakat Adat,” ungkapnya.

Menurutnya, Masyarakat Adat selama ini telah menunjukkan bahwa konservasi sesungguhnya bisa dicapai dengan Masyarakat Adat yang telah menjaga lingkungan dan mempertahankan kehidupan di wilayah adatnya. “Kami percaya ini (inisiatif 30x30) adalah usulan yang inovatif dan bagus. Tapi, bagi Masyarakat Adat, ini mengkhawatirkan jika ada wilayah konservasi baru sebab akan menimbulkan persekusi.”

Melihat Masyarakat Adat Sebagai Subjek dan Solusi

Pada webinar tersebut, Rukka turut menekankan pentingnya penerapan free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan yang memberikan peluang Masyarakat Adat atas partisipasi dan demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Lewat prinsip itu, Masyarakat Adat berhak untuk mendapatkan informasi dan menentukan sesuatu, misalnya apakah suatu proyek pembangunan akan ditolak atau diterima seutuhnya atau diterima dengan syarat maupun penyesuaian tertentu melalui pengambilan keputusan musyawarah mufakat.

“Maka, yang jadi masalah (adalah) ideologi konservasi yang kolonialistik dan jadi alat untuk menyingkirkan Masyarakat Adat dari wilayah adat,” kata Rukka. Sehingga, persoalan konservasi pun seharusnya dikembalikan ke pelaku konservasi yang sebenarnya, yaitu Masyarakat Adat.

Ia juga mengkritik perihal dana-dana investasi atau donor bagi Masyarakat Adat yang menetes di kampung-kampung karena alasan yang mengatakan kalau Masyarakat Adat tak memiliki kapasitas dalam mengelola dana atau proyek.

“Ini ada masalah pada kapasitas yang dipaksakan. Masyarakat Adat selalu dibilang tak punya kapasitas. Kapasitas yang dipaksakan donor saat ini, memang adalah kapasitas yang asing bagi Masyarakat Adat, sehingga tak mungkin memenuhi persyaratan administrasi. Bicara tentang peningkatan kapasitas - sebesar apa pun dana yang digunakan - tak efektif karena akan memindahkan konsentrasi Masyarakat Adat dari melakukan konservasi menjadi pelaku administrasi proyek. Ini justru berbahaya. Jadi, kita harus melihat kerangka 30 by 30 sebagai kerja sama semua dan harus ada relasi yang setara antara donor dan Masyarakat Adat, di mana kontribusi kami jangan diletakkan sebagai recipient (penerima proyek).”

Rukka mengusulkan perlunya mekanisme pendanaan secara langsung (direct funding mechanism) untuk Masyarakat Adat dengan membangun sebuah mekanisme yang sederhana dan bisa langsung diakses oleh kampung dan menjawab persoalan di kampung. Tentu saja, menurutnya, itu tetap akan dilakukan secara bertanggung jawab dengan memastikan penerapan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi penggunaan dana.

Sementara itu, Shapiom mengusulkan bahwa cara yang paling efektif dari konservasi, adalah dengan memberikan kekuatan atau kekuasaan penuh bagi Masyarakat Adat untuk melestarikan alam menggunakan kreativitas Masyarakat Adat dalam menjaga harmoni.

“Sehingga, uang yang dikeluarkan itu seharusnya diberikan untuk mendukung (kapasitas) Masyarakat Adat dengan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain yang meningkatkan kemampuan Masyarakat Adat untuk bisa terus melestarikan lingkungan. Itulah cara yang paling efektif,” ungkapnya  

***

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta