Oleh Alboin Samosir

Tanggal 9 Agustus diperingati sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS). Setiap tahunnya, terdapat tema yang dipilih untuk menghubungkannya dengan perjuangan Masyarakat Adat. Tahun ini, tema yang dipilih adalah “Peran Perempuan Adat dalam Merawat dan Mentransmisikan Pengetahuan Tradisional.” 

Perayaan HIMAS dan Relevansi Peran Masyarakat Adat
Berkaca dari tema yang diangkat tahun ini, dapat ditarik gambaran bahwa keberadaan perempuan adat memainkan peran sentris dalam menjaga kelestarian hutan dan transmisi pengetahuan tradisional leluhur (pengetahuan Masyarakat Adat), mulai dari bercocok tanam, meramu obat-obatan, melestarikan tradisi, serta mewarisi budaya benda dan non-benda. 

Tema itu pula merupakan gambaran nyata bahwa perempuan adat menjadi garda depan dalam menjaga dan melestarikan keberadaan Masyarakat Adat di tengah gempuran pembangunan yang kian masif. Berkaca dari data PEREMPUAN AMAN yang menyebut bahwa 70 persen aktivitas perempuan adat adalah berladang secara tradisional, di mana perempuan adat diprediksi telah menyediakan pangan bagi sekitar 31 juta jiwa rakyat Indonesia, maka itu menjadi bukti bahwa perempuan adat memainkan peran yang vital dalam menjaga ketersedian dan kedaulatan pangan. 

Perayaan HIMAS yang sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade dengan mengusung berbagai tema yang relevan dan representatif, ternyata belum mampu menembus kesadaran negara untuk mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat secara penuh.

Selain politik hukum kita yang masih setengah hati memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, pertumbuhan ekonomi yang dilandaskan pada produk domestik bruto dan pendapatan negara. Hal itu mengakibatkan negara hanya berfokus kepada sektor-sektor makro yang berpeluang mendompleng pendapatan ekonomi nasional, seperti perusahaan perkebunan, pertambangan, dan industri ekstraktif lainnya. Sehingga, keberadaan Masyarakat Adat yang mayoritas berada di sekitar sumber daya alam yang kaya dan menjadi target eksploitasi itu, tak ubahnya dianggap serupa “benalu” yang harus disingkirkan secara persuasif dan represif. 

Pertanyaan yang muncul kemudian, adalah mengapa Masyarakat Adat harus disingkirkan? Apakah kehadiran Masyarakat Adat dianggap tidak memiliki peran dalam proses pembangunan bangsa? Dan apakah Masyarakat Adat tidak memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan bangsa, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur?

Pentingnya Mengakui Hak Masyarakat Adat 
Terdapat beberapa alasan agar negara mengakui dan memberikan perlindungan bagi Masyarakat Adat. Pertama, jumlah populasi Masyarakat Adat di Indonesia yang tergolong banyak. Saat ini, AMAN memiliki anggota dengan jumlah 2.449 komunitas Masyarakat Adat dengan anggota individu mencapai 20 juta orang dari perkiraan total jumlah populasi Masyarakat Adat di Indonesia sebanyak 40-70 juta jiwa. Berkaca dari data tersebut, secara tidak langsung melegitimasi Indonesia sebagai negara dengan warisan multikultural yang tinggi. Maka, warisan dari Masyarakat Adat seharusnya dijaga dan dilindungi keberadaannya. Sebab, bukan tidak mungkin, jumlah populasi Masyarakat Adat akan terus berkurang setiap tahun akibat paradigma pembangunan Indonesia yang semakin mengarah pada penghancuran Masyarakat Adat dan wilayah adatnya. Dan yang terpenting adalah mengklaim diri sebagai negara multikultural tanpa mengakui keberadaan Masyarakat Adat, merupakan bentuk pengkhianatan. 

Kedua, sejalan dengan tema yang diusung dalam HIMAS 2022, Masyarakat Adat di Indonesia kaya akan pengetahuan tradisional, termasuk sistem pangan atau pertanian, obat-obatan, dan lain-lain yang sesungguhnya dapat diadopsi sebagai solusi berbagai masalah saat ini. Hal itu pun sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guetteres yang mengatakan, “Pengetahuan tradisional Masyarakat Adat dapat menawarkan solusi untuk banyak tantangan kita bersama.” 

Itu sebetulnya telah terbukti ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, di mana sebagian besar Masyarakat Adat mampu bertahan di tengah pembatasan sosial maupun krisis. Mekanisme pertahanan diri yang sudah lama dipraktikkan, menjadikan pandemi bukan sebagai tantangan yang baru, sehingga - melalui berbagai pengalaman atau kearifan turun-temurun Masyarakat Adat mampu bertahan, bahkan menguat di sejumlah wilayah adat. Pembelajaran tersebut dapat kita lihat dari daya lenting atau resistensi Masyarakat Adat Punan Tubu di Kalimantan yang telah mengenal tradisi kelapit, di mana untuk menghindari orang sakit atau penularan, warga diajarkan untuk hidup terpisah dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari keluarga inti. Hal yang sama dilakukan oleh Masyarakat Adat Topo Uma di Sulawesi Tengah. Mereka memiliki pengetahuan lokal tentang penyakit menular, sehingga jarak antar-desa di wilayah adat mereka, cukup jauh. Di sana, tiap keluarga memiliki polompua atau semacam rumah kebun yang digunakan untuk mengasingkan diri sambil berkebun. 

Selain memiliki pengetahuan akan mekanisme pertahanan diri, Masyarakat Adat juga mengenal pengetahuan pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan lestari. Misalnya, ritual Sasi Ikan Lompa di Maluku, di mana ikan akan dipelihara dan tidak akan diganggu selama setahun, lalu setelahnya ikan boleh ditangkap saat pemangku adat menyatakan ikan sudah cukup umur. Tradisi yang serupa juga dilakukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas, Sumatera Utara dengan nama Kolam Bombongan. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat, terbukti mampu menjaga keseimbangan alam. Hal itu lahir dari semangat Masyarakat Adat yang menjadikan hutan atau wilayah adat menjadi bagian kosmos yang menyatu dengan spiritualitas mereka. Masyarakat Adat selalu menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Itu tercermin salah satunya dari bagaimana Masyarakat Adat di Papua menyebut hutan sebagai Ibu. 

Ketiga, selain mewarisi tradisi pangan dan obat-obatan tradisional yang terbukti dapat bertahan hari ini, Masyarakat Adat juga diwarisi dengan hukum adat yang masih berlaku. Apabila dielaborasi lebih dalam lagi dari keberadaan hukum adat, itu dapat menjadi alternatif dalam mekanisme hukum positif kita. Hal tersebut memiliki relasi dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.”

Memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law), merupakan bentuk dari rekognisi hukum adat mengingat secara de jure hukum adat diakui sebagai sumber hukum di Indonesia. Selama ini, kita masih saja berkutat dengan warisan hukum kolonial yang kadang kala menimbulkan kerancuan. Maka, sudah saatnya nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Masyarakat Adat mampu diangkat menjadi salah satu sumber utama hukum positif Indonesia. 

Seperti yang dikatakan oleh H. P. Panggabean dalam bukunya yang berjudul Praktik Peradilan Menangani Kasus-kasus Hukum Adat Suku-suku Nusantara, “Dasar berlakunya hukum adat di Indonesia secara filosofis, penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum yang sangat berarti bagi hukum adat karena hukum adat berakar pada kebudayaan rakyat, sehingga dapat menjelmakan perasaan keadilan yang nyata dan hidup di kalangan masyarakat dan menceriminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia.” 

Keempat, di tengah keterbukaan arus informasi dan dunia tanpa batas alias globalisasi berimplikasi pada berubahnya pola pikir, perilaku, dan gaya hidup yang berikibat pada tumbuhnya budaya individualisme, konsumerisme, egoisme, dan lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan kita. Maka, upaya yang bisa dilakukan untuk membendung hal tersebut, salah satunya adalah dengan mengarusutamakan Masyarakat Adat sebagai garda terdepan. Hal itu dapat dilakukan dengan memperkenalkan budaya Masyarakat Adat ke berbagai pranata yang ada. 

Kelima, Masyarakat Adat akan selalu teralienasi apabila dipandang dalam logika pembangunan liberal kapitalis. Tetapi, bila pemerintah mampu mengubah paradigma tersebut ke dalam bentuk pembangunan berkelanjutan, maka memberdayakan Masyarakat Adat adalah jawabannya. Seperti yang sudah disampaikan di atas, Masyarakat Adat adalah entitas yang paling mengerti bagaimana kita bisa tumbuh dan berkembang tanpa merusak lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat menjadi gambaran bagi pemerintah betapa pentingnya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Semoga momentum HIMAS tahun ini dapat dimaknai dengan segera mempercepat proses pengakuan Masyarakat Adat melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama tertunda. Dan semoga kelak melalui momentum HIMAS berikutnya, kita sudah akan dapat menyaksikan Masyarakat Adat mendapatkan tempat di negeri ini sebagaimana mestinya. 

***

Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI).

Writer : Alboin Samosir | Jakarta
Tag : HIMAS HIMAS2022 PPMKRI