Oleh Apriadi Gunawan

Berbagai organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari AMAN, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Perkumpulan HuMa, dan lainnya, mendesak pemerintah untuk mengembalikan roh dari Kebijakan Satu Peta (KSP) sebagai alat penyelesaian masalah tumpang tindih atau konflik agraria.

Mereka menilai bahwa KSP masih jauh dari cita-cita untuk mendorong penyelesaian konflik agraria karena belum mengintegrasikan peta partisipatif wilayah adat sebagai peta tatakan, sehingga KSP hanya mengakomodasi penyelesaian tumpang tindih terhadap Informasi Geospasial Tematik (IGT) antar-kementerian/lembaga saja.

Sekretaris Jenderal (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa pemerintah telah mengingkari keberadaan Masyarakat Adat dengan menghilangkan nomenklatur wilayah adat sebagai salah satu IGT dalam KSP. Menurutnya, dengan mengakomodasi wilayah adat secara parsial melalui tiga IGT, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menunjukkan pemahaman yang gagal terhadap wilayah adat.

“Menganggap tiga IGT itu sama dengan wilayah adat, merupakan sesat pikir,” kata Rukka saat bertindak sebagai penanggap dalam acara bincang-bincang bertopik “Nasib Peta Partisipatif Wilayah Adat dan Desa dalam Kebijakan Satu Peta Hari Ini Pasca-Perpres 23/2021” di Cikini, Jakarta pada Kamis (16/2/2023).

Rukka menerangkan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), KSP telah dijalankan secara masif. Hal itu diawali dengan penyerahan peta wilayah adat seluas 2,4 juta hektar oleh AMAN, BRWA, dan JKPP yang diterima oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Secara berkala, itu pun terus diperbarui dan diserahkan ke kementerian/lembaga terkait.

Menurut Rukka, semangat KSP sudah jauh dari cita-citanya. Padahal, tujuan kebijakan tersebut adalah untuk mengidentifikasi keberadaan Masyarakat Adat di negeri ini. Maka, KSP penting karena itu menjadi jawaban atas dalih pemerintah di tingkat global yang selalu mengatakan kalau Masyarakat Adat itu tidak ada di Indonesia.

Permasalahan besarnya, sebut Rukka, sektoralisme yang lagi-lagi menyandera kebijakan itu. Sehingga, Masyarakat Adat terjebak dalam labirin yang tidak berujung. Dalam konteks itu, ia berharap JKPP dan BRWA tidak terjebak dan terus mengikuti arus tersebut sebab itu adalah jebakan maut yang membuat kita tidak mungkin dapat keluar tanpa solusi.

“Salah satu instrumen yang dapat mengatasi masalah ini, (adalah) harus ada Undang-Undang Masyarakat Adat yang dapat menunjukkan keberadaan dari Masyarakat Adat itu sendiri,” ungkapnya.

Rukka menyatakan, ketiadaan walidata wilayah adat sampai saat ini, menunjukkan bahwa negara tidak memiliki struktur pemerintahan yang memiliki fungsi untuk mengurus Masyarakat Adat secara menyeluruh. Karena itu, presiden harus segera menepati janjinya untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat.

Berdasarkan hasil rapat terbatas terhadap pelaksanaan KSP di awal periode kedua kepemimpinan presiden saat ini, Joko Widodo telah menyetujui keberlanjutan Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 yang diundangkan pada 6 April 2021. Percepatan tersebut diarahkan pada kompilasi dan integrasi 158 IGT dari 24 kementerian/lembaga serta 34 provinsi yang bertindak sebagai walidata. Kemudian, itu ditindaklanjuti dengan sinkronisasi atau penyelarasan IGT.

Selanjutnya, data produk PKSP dibagi-pakaikan melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasioanal (JIGN) sebagai upaya perwujudan KSP yang mengacu pada satu geoportal, satu referensi geospasial, satu standar, dan satu basis data bagi kementerian/lembaga serta Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menyusun kebijakan ruang dan/atau pemanfaatan lahan serta penyelesaian konflik agraria.

Hingga Juni 2022, target Rencana Aksi Percepatan Kebijakan Satu Peta telah terkompilasi 141 dan 78 IGT yang terintegrasi dalam memenuhi standar format BIG. Kemudian, 25 IGT hasil pemutakhiran juga telah disebarluaskan melalui portal KSP.

Sementara itu, dari 74.961 IGT batas desa, hanya 1.084 IGT batas desa (1,4 persen) yang terkompilasi dan yang masih tumpang tindih pada data batas desa definitif, sebanyak 109 desa.

Koordinator Nasional JKPP Imam Hanafi menyatakan bahwa pelaksanaan Perpres No. 23/2021 itu menyisakan beberapa permasalahan, salah satunya konflik agraria atau tumpang tindih pemanfaatan lahan melalui skema sinkronisasi IGT yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT, di mana itu belum mengakomodasi peta partisipatif wilayah adat sebagai peta tatakan. Ironisnya, hal itu dilakukan tanpa pelibatan masyarakat sipil, sehingga mereka menilai bahwa KSP hanya merupakan kompromi antar-kementerian/lembaga.

“Dampak dari ini semua, konflik agraria dan sumber daya alam tidak pernah terselesaikan,” kata Imam.

Berdasarkan data pada portal kampanye tanahkita.id, hingga Desember 2022, tercatat ada 491 kejadian konflik dengan luas area konflik mencapai 4,9 juta hektar dan melibatkan 870 ribu jiwa Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal sebagai korban.

Imam berharap pemerintah serius mengembalikan roh dari KSP untuk menghadirkan satu peta sebagai satu database atau referensi, satu standar, dan satu portal yang kelak dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai rujukan peta.

***

 

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta
Tag : JKPP BRWA