Oleh Isnah Ayunda

Kehadiran Batu Badok (Batu Badak) dan Batu Tukar Tondoi yang terletak di Sungai Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, tinggal kenangan. Situs bersejarah yang menjadi tempat ritual Masyarakat Adat Suku Balik tersebut, kini telah lenyap akibat pembangunan Proyek Intake Sepaku yang akan menyuplai air baku bagi wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Sekion, pelaku ritual adat setempat, menerangkan bahwa Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi musnah karena pembangunan proyek. Bendungan itu kabarnya berfungsi sebagai pengendali banjir. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Intake Sungai Sepaku justru dibangun untuk menyuplai air baku.

Sekion menyatakan kalau apa pun alasannya, mereka tidak terima Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi dihancurkan. Kedua batu tersebut dipercaya oleh Masyarakat Adat Suku Balik sebagai tempat ritual.

“Batu Tukar Tondoi dipercaya hingga saat ini sebagai wadah atau hantaran persembahan kepada leluhur (hantar hajat), sementara Batu Badok yang berbentuk badak ini dipercaya sebagai tempat ritual irow Suku Balik yang memiki hajat atau membayar niat,” kata Sekion di Kabupaten PPU baru-baru ini.

Ia menyatakan, keberadaan Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi itu telah ditandai dengan bendera berkain kuning yang berarti tempat keramat yang tidak boleh diganggu. Kain kuning juga jadi penanda bahwa ada Masyarakat Adat yang menghantarkan hajat. Namun, penanda tersebut diabaikan dan kedua situs itu malah dihancurkan.

“Kami sedih,” katanya dengan nada lirih.

Sekion menyebut, bukan hanya Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi yang dipastikan telah lenyap, tetapi kuburan tua para leluhur Suku Balik juga telah habis tergusur karena pembangunan tersebut.

Rancangan desain Intake Sungai Sepaku di IKN. Sumber foto: Dokumentasi Kementerian PUPR.

Kampung Tua Suku Balik

Menurut Sekion, Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi di Sungai sepaku merupakan lokasi yang menjadi bagian dari kampung tua Suku Balik. Mereka sudah bermukim di kampung tua yang terletak di Sepaku Lama itu secara turun-temurun. Sekion menjelaskan bahwa sebelumnya, Suku Balik bermukim di Tanjung Gonggot yang sekarang menjadi Kota Balikpapan.

Ada banyak hal yang menyebabkan Suku Balik pindah kala itu, salah satunya adalah tekanan dari pembangunan kota yang disertai dengan semakin banyaknya orang yang berdatangan ke Tanjung Gonggot.

“Kondisi ini memaksa Suku Balik pindah ke Sepaku Lama, terutama semenjak Belanda dan Jepang menjajah Pulau Kalimantan,” ujarnya.

Penampakan Batu Badok. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Pembangunan fisik pendukung IKN Nusantara. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Situs Sejarah

Selain Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi, ada pula Batu Bawi yang telah lebih dulu dihancurkan oleh sebuah perusahaan swasta. Sekion menuturkan bahwa batu berbentuk babi tersebut digusur karena lokasinya di tengah Sungai Sepaku, sehingga dianggap menghalangi kapal pengangkut kayu yang lalu-lalang.

Sebagai tempat-tempat ritual, Batu Badok, Batu Tukar Tondoi, dan Batu Bawi memiliki nilai sejarah dan sakral yang tidak bisa ditukar dengan apa pun, bahkan uang.

“Batu-batu yang dihancurkan itu merupakan tempat ritual Suku Balik,” ujar Sekion.

Batu Tukar Tondoi merupakan batu bersusun yang menyerupai tangga. Di sanalah tinggal roh leluhur bernama Tondoi yang diyakini sebagai penghuni air. Batu Tukar Tondoi punya makna sebagai tempat ritual sekaligus tempat penghubung Suku Balik dengan leluhur.

Sementara itu, Batu Badok dan Batu Bawi dipercaya adalah wujud nyata dari badak (badok) dan babi (bawi). Dahulu, di kampung tersebut, tutur Sekion, terdapat dua jenis hewan itu yang berubah menjadi batu.

Sekion bilang kalau berubahnya badak dan babi itu jadi batu disebabkan oleh kejadian yang disebut dengan bow rumo di Gua Tembenus.

Bow rumo adalah kondisi ketika dunia berubah gelap dan seluruh makhluk tiba-tiba menjadi batu saat dunia kembali terang. Masyarakat Adat percaya kejadian itu dapat terjadi akibat amarah seorang pria (suami) kepada seorang perempuan (istri) yang meninggalkan rumahnya karena harus membuat persiapan ritual penyembuhan di kerajaan. Kerajaan yang dimaksud itu bukan Kerajaan Kutai Kartanegara atau Kerajaan Paser, tetapi kerajaan yang diyakini oleh Suku Balik sudah ada jauh sebelum Jahiliah (zaman yang dipercaya umat Muslim ketika penduduk Mekah berada dalam ketidaktahuan atau kebodohan).

Dalam kisahnya, suami tersebut marah kepada si istri saat diketahuinya istrinya tidak berada di rumah seusai ia pulang berburu. Seketika, amarah si suami memuncak hingga membunyikan betung (alat musik serupa kelentung). Ia pukul betung tersebut dengan menggunakan satu ekor buis (monyet merah) dan tangannya (biawak gunung).

Dunia pun menjadi gelap (bow rumo). Lalu, datanglah Nayu (Sang Petir) yang merespons bunyi dari betung tersebut. Nayu ikut menjadi marah. Lalu, ketika dunia terang kembali, semua telah menjadi batu, termasuk raja.

Harapan

Masyarakat Adat Suku Balik kini telah kehilangan tempat-tempat ritual mereka. Pembangunan Proyek Air Baku di Intake Sepaku tersebut telah merampas ketiga situs sejarah-budaya di wilayah adat itu.

“Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi, tempat kami melakukan ritual, sekarang sudah tidak ada lagi,” ungkap Sekion.

Ia berharap pemerintah bisa mencarikan solusi agar tempat-tempat ritual mereka bisa kembali lagi atau direvitalisasi karena memiliki makna sejarah dan budaya yang tinggi bagi Suku Balik yang berada di Kampung Sepaku dan Kampung Pemaluan.

“Kedua kampung ini adalah sejarah bagi Masyarakat Adat Suku Balik,” katanya sembari menambahkan kalau hampir 90 persen Kampung Pemaluan kini menjadi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN Nusantara.

Atim, tokoh adat dari Suku Balik Sepaku, mengatakan bahwa Batu Tukar Tondoi dan Batu Badok kini sudah tertimbun habis oleh pembangunan bendungan di Intake Sepaku. Ia dan banyak warga Masyarakat Adat lain tidak mampu menolak ketika perencanaan proyek tersebut masuk kampung.

“Kami tidak tahu menolak dengan cara apa karena ini keinginan pemerintah,” katanya dengan putus asa.

Atim pun amat menyayangkan hal itu karena mereka sesungguhnya telah menyerahkan sebagian tanah mereka untuk proyek. Ia bertanya-tanya mengapa pemerintah justru kembali meminta tanah dengan alasan normalisasi Sungai Sepaku.

Atim bilang, “Ini sudah perampasan. Mohon kembalikan tanah kami!”

***

Penulis adalah jurnalias Masyarakat Adat di PPU, Kalimantan Timur

Writer : Isnah Ayunda | Kalimantan Timur
Tag : IKN UU IKN Masyarakat Adat Suku Balik