Oleh Mohamad Hajazi 

Masyarakat Adat Pejanggik di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat sibuk mempersiapkan ritual adat perang timbung.

Inaq Maniq, salah seorang Masyarakat Adat Pejanggik yang ikut sibuk mempersiapkan ritual ini. Diusianya yang sudah mencapai 70 tahun, Inaq masih energik mempersiapkan ritual perang timbung. Ia dan keluarganya berjibaku membuat timbung atau sejenis lemang dari beras ketan (pulut). Ia masukkan beras ketan ke dalam bambu bulat ukuran sedang untuk dimasak menjadi timbung.

Inaq menjelaskan persiapan untuk memasak timbung ini sudah dilakukannya sejak seminggu yang lalu. Ia berbelanja ke pasar membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat timbung, mulai dari beras ketan, bambu, kelapa dan bahan lainnya.

“Timbung ini makanan yang terbuat dari beras ketan yang telah dilumuri santan kelapa. Lalu, dimasukkan di dalam bambu yang kemudian dibakar hingga matang,” kata Inaq Maniq saat memasak timbun di depan rumahnya, Kamis (24/8/2023).

Ia menjelaskan setelah matang, sebagian timbung akan digunakan untuk perang. Inaq menambahkan maksud perang disini bukan dengan mengangkat senjata, tetapi menjadikan timbung yang sudah dimasak sebagai alat perang untuk dilemparkan ke Masyarakat Adat yang ikut ritual. 

“Dalam ritual ini antar Masyarakat Adat Pejanggik saling lempar timbung, makanya disebut perang timbung,” jelasnya.

Inaq menerangkan perang timbung ini memiliki arti mendalam bagi komunitas Masyarakat Adat Pejanggik, dimana perang timbung ini sebagai simbol persembahan bagi leluhur agar terhindar dari segala macam bahaya.

“Perang Timbung ini sebagai simbol tolak balak, dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Pejanggik sebagai wujud cinta kepada Sang Pemban (raja) agar wilayah adat kami terhindar dari huru hara,” terangnya.

Sejumlah Masyarakat Adat Pejanggik sedang membakar Timbung atau sejenis lemang dari beras ketan di halaman rumah warga di Desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah pada Kamis 24 Agustus 2023

Rutin Setiap Tahun

Tetua Adat Pejanggik, Amaq Murne menuturkan ritual perang timbung ini dilaksanakan rutin setiap tahun di komunitas Masyarakat Adat Pejanggik sebagai Pengadek Adek ( peninggalan leluhur ). Ritual ini dilaksanakan di depan komplek Makam Seriwe.

“Ritual perang timbung ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Ini warisan leluhur yang harus tetap dilestarikan,” kata Amaq sembari berharap agar para generasi penerus jangan sampai melupakan adat dan tradisi ini agar tidak Tulah Manuh (mendapat karma).

Prosesi Ritual

Amaq menyatakan prosesi perang timbung ini punya beberapa rentetan ritual adat didalamnya, termasuk ritual pengambilan air suci dari Lingkok Siwaq ( sumur sembilan ).

Pria yang sudah berusia 74 tahun ini mengaku sebagai pemangku yang bertugas untuk mengambil air suci. Ia menuturkan jika mata air suci Lingkok Siwaq dibuat oleh Tunjang Pemban (tongkat raja) Pejanggik. Ceritanya kala itu, sebut Amaq, Pejanggik sedang dilanda kemarau panjang dan hampir seluruh wilayah Pejanggik dilanda kekeringan. Ia menambahkan melihat kondisi masyarakat yang semakin hari semakin susah mendapatkan air, kemudian Raja Pejanggik menghentakkan tongkatnya ke tanah dan akhirnya keluarlah air dari tanah tersebut.

“Air ini selanjutnya dikenal sebagai mata air suci Lingkok Siwaq,” terang Amaq.

Ia menyatakan air suci yang keluar dari tanah ini dimaknai sebagai sumber kehidupan. Dikatakannya, setelah air diambil dari Lingkok Siwaq, air tersebut kemudian dibawa ke Bale Beleq ( Rumah Besar ) untuk dikelilingi sebanyak tujuh putaran, layaknya orang yang sedang melakukakan tawaf haji. Kemudian, air suci disemayamkan selama satu malam di Bale Beleq.  Keesokan harinya diarak oleh Masyarakat Adat menuju Makam Seriwe.

Ketua Komunitas Adat Pejanggik, Zaenuddin menerangkan ritual adat Perang Timbung yang disertai dengan ritual pengambilan air suci dari Lingkok Siwaq ini berawal dari mimpi buruk Raja Mas Meraje Kesume tentang akan terjadinya huru hara di lingkungan Kerajaan Pejanggik kala itu. Dalang dari huru hara tersebut adalah seseorang yang berasal dari dalam kerajaan itu sendiri.

Pria berusia 50 tahun ini menambahkan berdasarkan mimpi ini, raja harus mengadakan tumbal.  Namun tumbal dimaksud dalam bentuk sebuah simbol yang diproyeksikan dalam bentuk sebatang bambu yang dibakar oleh bambu itu sendiri.

Karena ini prosesi tolak bala, maka prosesinya diawali dengan pengambilan air suci, lalu air suci tersebut disemayamkan di Bale Beleq. Terakhir, air suci tersebut di bawa ke Makam Seriwe.

Prosesi pengambilan air suci dilaksanakan pada hari Kamis, 24 Agustus 2023. Keesokan harinya, dilakukan ritual di makam seiring dengan dilaksanakannya Perang Timbung pada Jum’at, 25 Agustus 2023.

“Ritual di makam dan perang timbung ini dilaksanakan setiap hari Jum’at pada bulan 4 Penggalan Sasak,” kata Zenuddin sembari menambahkan pelaksanaan ritual ditandai dengan berbunganya pohon Dangah (pohon purba yang sudah langka, hanya ditemukan di beberapa wilayah Lombok, salah satunya di komplek Makam Seriwe).

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Barat

Writer : Mohamad Hajazi | NTB
Tag : Ritual Adat Perang Timbung Lombok NTB