Oleh Nesta Makuba

Kamis, 2 November 2023 menjadi hari paling kelam bagi Masyarakat Adat di Tanah Papua. Saat itu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak gugatan aktivis Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari.

Putusan hakim yang dipublikasikan hari itu menjadi kabar buruk bagi Masyarakat Adat Suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari perusahaan sawit.

“Ini kabar buruk sekaligus potret kelam bagi perlindungan Masyarakat Adat di Tanah Papua, khususnya Suku Awyu,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura baru-baru ini.

Hendrikus mengaku sedih dan kecewa atas putusan majelis hakim PTUN Jayapura. Namun, ia menyatakan tidak akan pernah mundur. Bahkan, Hendrikus menyatakan siap mati demi tanah adat warisan leluhurnya.

“Saya akan terus maju, mati pun saya rela demi mempertahankan tanah adat warisan leluhur,” tandasnya.

Hendrikus menceritakan selama tujuh bulan persidangan, dirinya dan kuasa hukum sudah memperlihatkan 102 bukti surat serta menghadirkan enam orang saksi fakta dan tiga orang saksi ahli. Semua ini menunjukkan kejanggalan atas penerbitan izin PT Indo Asiana Lestari (IAL). Hendrikus mencontohkan misalnya, penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak melibatkan partisipasi dari Masyarakat Adat. Kemudian, ada intimidasi terhadap Masyarakat Adat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.

Greenpeace melaporkan sekitar 168.471 hektar hutan primer di Papua dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 2010 dan 2019, dan perkebunan diperkirakan akan meningkat.

“Ini semua fakta, tapi diabaikan oleh majelis hakim,” ujarnya.

Dalam amar putusannya, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan hal itu, sehingga putusannya juga menyesatkan,” ungkap Hendrikus.

Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum Suku Awyu, menyatakan pertimbangan majelis hakim tidak kuat untuk dijadikan dasar putusan, apalagi hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel.

Menurut Tigor, Lembaga Masyarakat Adat merupakan lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat. Mereka tidak merepresentasikan Masyarakat Adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik Masyarakat Adat.

“Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari Masyarakat Adat yang terdampak,” kata Tigor Hutapea.

Tigor menambahkan putusan hakim juga menegaskan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat Suku Awyu. Jika deforestasi itu terjadi, sebut Tigor, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2.

“Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030,” terangnya.

Tigor menyatakan majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang demi tegaknya hak Masyarakat Adat,” katanya sembari menambahkan putusan hakim tidak berpihak kepada Masyarakat Adat dan lingkungan, juga mengabaikan banyak fakta di persidangan.

Ia menerangkan sejatinya gugatan yang diajukan ini untuk menyelamatkan hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan laju krisis iklim.

Banding

Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum Suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menyatakan atas putusan majelis hakim ini, pihaknya akan mengajukan banding karena ini menyangkut hak-hak Masyarakat Adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar.

“Selain mengajukan banding, kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini,” ujarnya.

Emanuel menyebut satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, namun ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai dengan prinsip hukum lingkungan. Ia mencontohkan misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi Amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan.

Masyarakat Adat Suku Awyu melakukan aksi untuk menyelamatkan suku Awyu. Dok. Greenpeace

Dukungan Mengalir Untuk Suku Awyu

Selama persidangan bergulir, banyak dukungan yang mengalir untuk Suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.

Selain itu, dukungan juga datang dari Gerakan Solidaritas Perlindungan Hutan Adat Papua yang didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari Masyarakat Adat Ka’apor, Amazon, Brazil, yang telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM.

Mereka menuntut dan memohon majelis hakim berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura, yang bermakna jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan Masyarakat Adat Papua.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Papua

Writer : Nesta Makuba | Papua
Tag : Papua Suku Awyu Save Papua