Oleh Sucia Lisdamara

Para pemangku adat Kasepuhan Cicarucub yang terdiri dari ketua adat, juru basa, amil, baris kolot, rendangan, dan perangkat adat lainnya duduk melingkar di Imah Gede Kasepuhan pada Senin malam, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2024.

Imah Gede merupakan rumah adat Kasepuhan yang dijadikan sebagai tempat berkumpul dan tempat tinggal ketua adat. Meski hanya diterangi oleh lampu cemprong, karena di Imah Gede dilarang menggunakan listrik dan alat-alat elektronik, kegiatan ngariung tetap berjalan dengan khidmat dan lancar.

Ngariung” merupakan kata lain dari musyawarah yang di dalamnya berisi perihal pengambilan keputusan yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Cicarucub.

Terdapat beberapa hal yang dibahas pada riungan tersebut, di antaranya membahas perihal kondisi wilayah adat, terutama hutan adat titipan yang dirusak oleh perusahaan. Kasepuhan Cicarucub mendesak perusahaan untuk menghentikan penyerobotan terhadap hutan titipan.

Selain itu, Kasepuhan Cicarucub juga membahas perihal rencana pemetaan wilayah adat, hal ini sangat penting sekali dilakukan karena wilayah adat Kasepuhan Cicarucub sudah sangat terancam. Kasepuhan Cicarucub juga akan mengidentifikasi ulang hutan titipan dan segera melakukan pemasangan plang hutan adat di beberapa titik lain setelah sebelumnya sudah dilakukan pemasangan plang di dua titik.

Karena hutan titipan Kasepuhan Cicarucub mengalami kerusakan yang disebabkan oleh salah satu perusahaan tambang emas, maka dalam riungan tersebut juga dibahas tentang upaya-upaya yang akan dilakukan untuk penyelamatan kawasan hutan titipan.

Kaepuhan Cicarucub juga segera melakukan koordinasi dan mengajak pihak luar untuk menghormati, menghargai dan menjaga wilayah adat, khususnya hutan titipan leluhur Kasepuhan Cicarucub. Upaya lain yang dilakukan oleh Kasepuhan Cicarucub dalam rangka menjaga wilayah adat adalah dengan cara menjatuhkan sanksi adat bagi siapa saja dan pihak mana saja yang melakukan pelanggaran aturan adat termasuk pengrusakan hutan titipan.

Pada riungan tersebut, para pemangku adat Kasepuhan Cicarucub bersepakat untuk menjatuhkan sanksi adat kepada perusahaan perusak hutan adat dengan cara perusahaan harus menyediakan seekor kerbau, seekor ayam jantan, telur, tujuh tumpeng, dan melakukan pemulihan terhadap hutan titipan.

Pemulihan terhadap hutan titipan harus dilakukan karena apa yang sudah diambil dari tanah di kawasan hutan titipan wajib dikembalikan. Sanksi tersebut diberikan karena pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan termasuk ke dalam kategori pelanggaran berat. Masyarakat adat Kasepuhan Cicarucub menyebut sanksi adat sebagai “Ngabual Dosa” atau penebusan dosa.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk ketegasan Kasepuhan Cicarucub bahwa bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran aturan adat akan dijatuhkan sanksi adat. Sebagai akibat dan konsekuensi apabila sanksi tersebut tidak dijalankan, maka kekhawatiran terjadi bencana menjadi beban yang harus diterima masyarakat adat.

Setelah riungan, para pemangku adat melakukan ritual salametan dan izin babasa kepada ketua adat karena akan melakukan pemetaan wilayah adat. Izin babasa ini dilakukan untuk meminta izin kepada ketua adat, dan ritual salametan dilakukan dengan cara berdo’a bersama untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur agar pemetaan wilayah adat yang akan dilakukan berjalan dengan lancar.

Writer : Sucia Lisdamara | Banten Kidul
Tag : AMAN Banten Kidul Cicarucub