Oleh  Apriadi Gunawan dan Azmi Efendi

Rapat Pengurus Besar (RPB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-33 di kaki lereng Gunung Rinjani, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat melahirkan pernyataan sikap mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2024 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan untuk Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan. Aturan ini dinilai berpotensi memicu konflik horizontal antara Masyarakat Adat dengan ormas keagamaan.

Pernyataan sikap ini disampaikan secara tertulis diakhir pelaksanaan RPB AMAN ke-33 di komunitas Masyarakat Adat Kemangkuan Tanaq Sembalun, Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur pada Sabtu, 8 Juni 2024.

Dalam pernyataan sikap yang berisi lima poin tersebut, AMAN mengajak ormas keagamaan dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menolak peraturan kebijakan negara yang beresiko tinggi untuk memecah belah warga negara, menghancurkan lingkungan hidup, dan merampas ruang hidup Masyarakat Adat.

AMAN menyatakan bahwa wilayah adat adalah satu wilayah kepunyaan Masyarakat Adat secara turun temurun, dan wilayah adat merupakan zona bebas dari usaha pertambangan dalam bentuk apa pun karena akan menghancurkan identitas dan masa depan mereka sebagai Masyarakat Adat.

Dalam konteks ini, AMAN mendesak kepada pemerintah untuk mendorong penyelesaian konflik agraria di wilayah adat yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat. AMAN juga mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.

Pemerintah Otoritarian

Berdasarkan catatan AMAN, Presiden Joko Widodo memasuki masa akhir jabatannya semakin menunjukkan karakter pemerintahan yang otoritarian. Hal ini ditandai dengan terbentuknya berbagai hukum dan kebijakan yang anti demokrasi, melawan konstitusi, tidak menghormati hak asasi manusia (HAM), termasuk hak-hak Masyarakat Adat.

AMAN menyebut salah satu kebijakan terbaru pemerintahan Joko Widodo yang membahayakan adalah mengenai izin  tambang bagi ormas keagamaan yang telah ditandatangani pada 30 Mei 2024. 

AMAN menilai secara substansi izin tambang bagi ormas keagamaan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Di dalam ketentuan UU Minerba tersebut dijelaskan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan finansial.

“Dengan demikian Badan Usaha Ormas Keagamaan, tidak termasuk dalam kategori badan usaha yang diprioritaskan untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK),” demikian pernyataan sikap AMAN.

Pada tahun 2020, AMAN mencatat terdapat 1.919.708 hektare wilayah adat yang telah dirampas untuk perizinan di sektor pertambangan. Pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan sebagaimana diatur di dalam regulasi baru menempatkan wilayah-wilayah adat ke dalam situasi yang semakin terancam.

Masuknya Badan Usaha Ormas Keagamaan sebagai salah satu penerima WIUPK juga sekaligus akan semakin memperkuat ancaman kriminalisasi Masyarakat Adat, terlebih di dalam ketentuan revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu atau merintangi izin usaha pertambangan dikenakan sanksi pidana paling lama 1 tahun atau denda 100 juta.

"Frasa ‘mengganggu atau merintangi’ potensial menjadi alat untuk mengkriminalisasi Masyarakat Adat, apalagi dalam banyak kasus perampasan wilayah adat yang diperuntukkan untuk kepentingan usaha pertambangan dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat," kata AMAN.

AMAN menilai masuknya ormas keagamaan sebagai salah satu pemain tambang berpotensi memicu konflik horizontal antara Masyarakat Adat dengan ormas keagaman sebagai akibat dari tumpang tindih IUPK yang dimiliki oleh ormas keagamaan dengan wilayah adat yang telah dimiliki, dikuasai, dan diatur oleh Masyarakat Adat secara turun temurun.

Mamiq Purnipe menyembeq peserta RPB. Dokumentasi AMAN

RPB AMAN Sukses

RPB AMAN ke 33 diselenggarakan selama dua hari mulai 7-8 juni 2024 dihadiri tigapuluh orang peserta, diantaranya Sekretaris Jendral AMAN Rukka Sombolinggi dan jajaran serta Dewan AMAN Nasional dari seluruh regional.

Para peserta RPB disambut dengan Tarian Tandang Mendet yang merupakan tarian tradisional Masyarakat Adat Sembalun untuk menyambut tamu kehormatan yang datang ke tanah Sembalun.

Purnipa selaku Tetua Adat Sembalun ikut menyambut kedatangan rombongan peserta RPB AMAN ke-33 dengan sebuah Tembang (membaca aksara sasak ) ucapan selamat datang dirangkai dengan Menyembek (memberi tanda di dahi) untuk Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dan rombongan.

Ketua Pelaksana Harian Daerah AMAN Sembalun, Junaedi mengaku sangat senang dan bangga atas kehadiran Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dan sejumlah pengurus lainnya ke  Sembalun yang jadi lokasi RPB AMAN ke-33.  

"Saya bersyukur dan terharu atas kunjungan Sekjen AMAN dan Pengurus Besar AMAN ke komunitas kami di Sembalun,” katanya dengan penuh ceria.

Ketua Pelaksana Harian Wilayah  AMAN Nusa Tenggara Barat, Lalu Prima Wira Putra menyatakan bersyukur pelaksanaan RPB AMAN telah berlangsung dengan lancar dan sukses. Ia mengucapkan terima kasih kepada semua panitia yang terlibat atas terselenggaranya RPB AMAN ke 33 di Sembalun.

Sementara, Direktur Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan Pengurus Besar AMAN, Riki Aprizal mengatakan RPB AMAN yang diselenggarakan ini merupakan mandat organisasi, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar AMAN dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 kali dalam satu tahun. Ia menambahkan RPB ini bertujuan untuk melakukan evaluasi secara berkala atas penyelenggaraan jalannya organisasi dan program kerja AMAN yang telah dilakukan.

Riki menerangkan dipilihnya Sembalun di Nusa Tenggara Barat sebagai lokasi RPB bukan serta merta ditetapkan, melainkan ada sebuah kebijakan yang mana diketahui bahwa Sembalun merupakan daerah konflik. Disebutnya,  ada dua konflik yang terjadi di Sembalun, yaitu yang pertama konflik dengan perusahaan dan kedua konflik di internal komunitas itu sendiri.

“Melalui RPB ini, organisasi ingin mendekatkan komunitas, bukan saja hanya PD AMAN Sembalun yang dekat dengan komunitas tetapi juga teman-teman di Pengurus Besar. Ini membuktikan bahwa komunitas tidak sendirian dalam perjuangan, melainkan organisasi juga ikut membantu dalam perjuangan Hak-hak Masyarakat Adat,” terangnya.

Ketua DAMANWIL Nusa Tenggara Barat Abdurrahman memamparkan konflik yang paling besar di wilayah adat Sembalun adalah wilayah adatnya dimiliki oleh orang luar. Padahal,  pesan orang tua (leluhur): "Sembalun Balen Benang Kak Na Alur Bagian Dengan" yang artinya Sembalun rumah kita, jangan sampai diambil oleh orang luar.

Abdurrahman menyatakan banyak orang luar yang ingin berinvestasi di Sembalun untuk dijadikan proyek, salah satunya adalah PT Sembalun Kusuma Emas (KSE)  yang telah mendapatkan tanah seluas 1000 hektar pada tahun 1988.

“Kita ingin tanah leluhur di Sembalun dikuasai dan dikelola sendiri oleh Masyarakat Adat Sembalun, bukan orang lain,” katanya.

***

Penulis Azmi Efendi adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Lombok, Nusa Tengara Barat

Writer : Azmi Efendi | Sembalun
Tag : PT SKE Sembalun