Oleh Maruli Simanjuntak

Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) memprotes tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut tokoh adat Sorbatua Siallagan dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan penjara.

Jaksa mendakwa Sorbatua Siallagan melanggar pasal 78 ayat (3) dan atau ayat (2) UU No. 11/2022 tentang Cipta Kerja. 

Tim Advokasi menilai tuntutan jaksa tersebut tidak sah karena Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi dasar tuntutan sudah resmi dicabut.

“Kami berharap majelis hakim membebaskan Sorbatua Siallagan karena dasar tuntutan jaksa tidak sah, undang-undangnya sudah dicabut,” kata Boy Raja Marpaung, salah seorang kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara di Pengadilan Negeri Simalungun pada Senin, 30 Juli 2024.

Sekitar 500 orang dari berbagai elemen Masyarakat Adat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup Toba Pulp Lestari (TPL) juga memprotes tuntutan jaksa terhadap Sorbatua Siallagan. Massa menggelar aksi protes seiring pembacaan tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Simalungun. 

Koordinator aksi massa, Doni Munte menyatakan bahwa tuntutan jaksa terhadap Sorbatua Siallagan tidak berdasar karena kesaksian yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan tuduhan. "Mereka hanya menduga saja," tegasnya.

Doni mengungkap bahwa Sorbatua Siallagan merupakan korban kriminalisasi TPL, hingga akhirnya ia harus mendekam di penjara. Menurutnya, Sorbatua Siallagan tidak pernah berbuat salah atau melanggar hukum. Selama ini Sorbatua hanya mengelola tanah adat warisan leluhur, tidak pernah mengambil hak orang lain.

“Sorbatua tidak perah merampas tanah orang lain, justru tanah adat warisan leluhurnya  yang dirampas, lalu diklaim TPL sebagai areal konsesi mereka,” ujarnya. 

Sorbatua Siallagan “diculik” oleh polisi pada 22 Maret 2024. Saat itu, ia bersama istrinya sedang belanja pupuk di Tanjung Dolok (sekitar Simpang Simarjarunjung, Jalan Parapat-Medan) Namun, setelah pupuk sudah dimuat ke dalam mobil dan berencana pulang, tiba-tiba 10 orang oknum polisi berpakaian preman mendatangi dan menarik Sorbatua Siallagan dari mobil. Kemudian, dipaksa masuk ke dalam mobil warna hitam milik polisi dan membawanya ke arah Pematang Siantar.

Setelah ditelusuri keluarga, Sorbatua Siallagan telah berada di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Menurut keluarga, Sorbatua Siallagan telah jadi korban kriminalisasi karena saat ditangkap polisi tanpa ada surat penangkapan dan informasi yang jelas. 



Masyarakat Adat Sering Dikriminalisasi

Mangitua Ambarita, salah seorang tetua adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas membenarkan bahwa mereka sering dikriminalisasi oleh pihak aparat kepolisian. Mangitua menyebut pada tahun 2019, Thomson dan Jonny Ambarita dikriminalisasi. Menurutnya, kriminalisasi tersebut terus berlanjut sampai saat ini.

“Pekan lalu, lima orang yang sedang tidur diculik pada dini hari. Anak saya termasuk salah satu yang diculik. Ini harus ditindaklanjuti,” katanya.

Mangitua menyatakan heran dengan tindakan aparat kepolisian selama ini yang terkesan memusuhi Masyarakat Adat. Padahal, mereka tidak pernah menyerobot tanah negara. 

“Masyarakat Adat bukan penggarap. Kami sudah ada sebelum negara merdeka," cetusnya.

Cavin Fernando, salah seorang pemuda adat menyatakan berlarut-larutnya masalah pertanahan yang berujung penangkapan terhadap sejumlah tokoh Masyarakat Adat akibat sikap pemerintah yang tidak tegas. Pemerintah dinilai melakukan pembiaran yang mengakibatkan konflik berkepanjangan terus terjadi hingga kini di Tano Batak. 

"Pemerintah diam seribu bahasa meski Masyarakat Adat terus dikriminalisasi, bahkan tanah leluhur mereka terus terancam oleh konsesi PT. Toba Pulp Lestari,” kata Cavin sembari meminta pemerintah untuk menegakkan keadilan untuk Masyarakat Adat di Tano Batak.

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara

 

Writer : Maruli Simanjuntak | Tano Batak
Tag : Masyarakat Adat Tano Batak #Sorbatua Siallagan