Bank Tanah Mengancam Ruang Hidup Masyarakat Adat di Poso
02 Agustus 2024 Berita SamsirOleh Samsir
Masyarakat Adat di dataran tinggi Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah sedang berjuang mempertahankan tanah adat leluhur dari penguasaan Bank Tanah yang dibentuk pemerintah pusat. Mereka memprotes dan mencabut patok yang melarang Masyarakat Adat memanfaatkan tanahnya tanpa izin Bank Tanah.
Masyarakat Adat yang berasal dari desa Alitupu, Winowanga, Maholo dan Watutau ini menuntut Bank Tanah untuk menghentikan segala aktivitas di atas lahan yang menjadi wilayah adat mereka.
“Jangan rampas wilayah adat kami dengan berkedok Bank Tanah, kami akan lawan,” kata salah seorang tokoh perempuan adat dari desa Watutau pada Rabu, 31 Juli 2024.
Perempuan yang sehari-hari bekerja di ladang ini menuturkan keberadaan Bank Tanah sangat meresahkan Masyarakat Adat. Disebutnya, Bank Tanah tidak hanya mematok lahan eks HGU milik perusahaan tapi juga mematok lahan persawahan, lahan perkebunan coklat, kopi, lahan kering yang belum digarap. Bahkan, imbuhnya, Bank Tanah di kampung mereka sudah masuk ke pekarangan rumah Masyarakat Adat.
“Ini sudah meresahkan,” katanya.
Ketua Pengurus Daerah (PD) AMAN Tampo Lore, Yusuf Kabi mengatakan bahwa mereka khawatir dengan adanya Bank Tanah ini, Sebab, ia meyakini perusahaan-perusahaan besar dapat dengan mudah mengambil lahan tersebut setelah menjadi aset negara.
Apalagi sebelumnya, Badan Bank Tanah hadir mematok lahan di wilayah adat mereka tanpa melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Sehingga, menurutnya, perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan tanah adat yang menjadi sandaran hidup mereka dari penguasaan Bank Tanah yang semakin masif.
Sejauh ini dilaporkan Bank Tanah telah mengklaim 6.648 hektar sebagai aset mereka, termasuk lahan eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL).
“Ini ancaman bagi Masyarakat Adat, kehadiran Bank Tanah ini sangat meresahkan kami,” katanya sembari menambahkan Masyarakat Adat akan terus melakukan konsolidasi terkait masifnya pergerakan Bank Tanah dalam menguasai lahan warga.
Yusuf menuturkan perjuangan Masyarakat Adat di dataran tinggi Lore dalam mempertahankan tanah adat bukan terjadi hanya saat ini. Namun, jauh sebelumnya sudah dilakukan sejak awal penetapan HGU oleh pemerintah. Pada tahun 2005, Masyarakat Adat melancarkan protes atas penetapan HGU yang dinilai telah merampas wilayah adat.
Tidak berhenti di situ, kata Yusuf, mereka melancarkan protes kembali pada pertengahan tahun 2023 sejak kehadiran Badan Bank Tanah yang memasang plang yang berisi larangan melakukan kegiatan pemanfaatan tanah tanpa izin Bank Tanah. Padahal lahan tersebut telah diolah dan menjadi lokasi perkampungan tua (lamba) yang mengandung sejarah penting bagi eksistensi Masyarakat Adat di dataran tinggi Lore.
Kepala Divisi Penguatan Organisasi Solidaritas Perempuan Palu, Isna Ragi menilai situasi yang terjadi di masyarakat saat ini dengan adanya Bank Tanah memperlihatkan bagaimana negara merampas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan Masyarakat Adat.
Isna menegaskan seharusnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum harus dapat menciptakan keadilan, memberikan kepastian hukum atas hak-hak kepemilikan tanah bagi Masyarakat Adat.
"Praktek perampasan lahan melalui Bank Tanah, memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan memperpanjang sejarah konflik agraria di rezim pemerintahan saat ini," tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sulawesi Tengah