Masyarakat Adat di Papua Selatan Menderita Akibat Proyek Strategis Nasional
21 Agustus 2024 Berita Nesta MakubaOleh Nesta Makuba
Masyarakat Adat di Kabupaten Merauke, Papua Selatan dilaporkan sangat menderita akibat dampak dari proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Proyek Strategis Nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo ditandai dengan penanaman tebu perdana di lokasi perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring pada 23 Juli 2024 tersebut juga dinilai berpotensi memperparah krisis ekologi.
PSN Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Papua Selatan telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Ketua Satgasnya ditunjuk Bahlil Lahadalia.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan kebijakan dan dukungan negara atas Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi ini telah memperparah kehidupan Masyarakat Adat. Dikatakannya, proyek ini bukan pertama kali di Papua. Sebelumnya, kata Franky, ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPPP), Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.
Namun, lanjutnya, bukan kemakmuran bersama yang dirasakan, tetapi segudang persoalan baru yang bermunculan akibat kebijakan negara yang keliru tersebut.
“Persoalan baru tersebut menyebabkan Masyarakat Adat disana semakin menderita,” ujarnya.
Franky menerangkan persoalan baru dimaksud adalah penguasaan tanah skala luas yang mencapai jutaan hektar mengakibatkan Masyarakat Adat tereksklusi dan kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Kami mendokumentasikan semua praktik perampasan tanah dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan dari Masyarakat Adat,” ungkapnya sembari menyebut ada 38 perusahaan dengan berbagai usaha dan komoditi telah menguasai lahan seluas 1.588.651 hektar di Papua Selatan.
Franky menyebut baru-baru ini, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melakukan kajian cepat aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol di Papua Selatan. Hasilnya ditemukan sebagian besar izin yang diberikan berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas 30 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain 25 persen.
Dikatakannya, areal perizinan perkebunan tebu berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar. Karenanya, sebut Franky, proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi.
“Izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah Masyarakat Adat Yeinan seluas 316.711 hektar. Ini beresiko secara sosial ekonomi dan budaya,” jelasnya.
Masyarakat Adat di Kabupaten Merauke Papua Selatan, menolak Proyek Strategi Nasional pembukaan lahan 2 Juta Hektar untuk perkebunan tebu. Dokumentasi AMAN
Pengabaian Negara
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke, Teddy Wakum mengatakan sejak tahun 2010, mereka punya pengalaman buruk, kepedihan dan penderitaan dari program MIFEE. Hingga kini, katanya, penderitaan tersebut belum berhenti dan semakin menumpuk.
“Penyimpangan dan dampak dari program MIFEE masih dikeluhkan Masyarakat Adat hingga saat ini,” kata Teddy Wakum.
Teddy mencontohkan suku Marind dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting dan Zanegi hingga saat ini masih menuntut keadilan dan pemulihan hak korban kekerasan pasca berjalannya program MIFEE. Mereka juga menagih janji perusahaan untuk kesejahteraan dan upah layak.
Menurut Teddy, pengabaian negara atas hak Masyarakat Adat untuk membuat keputusan ini melanggar prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Provinsi Papua, pasal 43 tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Teddy juga menuturkan ada peningkatan intensi dari aparat keamanan TNI dan Polri dalam rangka pengawalan dan pengamanan peralatan operasi proyek. Situasi ini membuat Masyarakat Adat khawatir karena dibatasi dan tidak bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.
“Kami mendengar keluhan ini dari Masyarakat Adat. Mereka mengalami tekanan disana,” katanya sembari menilai proyek ini berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia.
Hormati Hak Masyarakat Adat
Teddy meminta kepada korporasi, investor dan institusi keuangan untuk menghormati hak Masyarakat Adat. Tidak memaksa Masyarakat Adat untuk menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan dan hutan di wilayah adat.
Teddy juga meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi hak Masyarakat Adat.
“kami minta semua aktivitas melibatkan Masyarakat Adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Papua