[caption id="attachment_1079" align="alignleft" width="432"] Pembimbing sanggar Rirung Mange menancapkan “Gunung Perak” kepada Abdon Nababan[/caption] Terasa suasana riuh dan ramai di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Tambun Bungai, di bilangan Jalan Ahmad Yani, Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Gelaran ini dihadiri masyarakat adat dari perwakilan se-Nusantara. Setiap perwakilan terlihat bangga dan tampil khas dengan memakai kostum daerahnya dari 33 provinsi, mereka terlihat dinamis dan menarik. Tidak ingin luput mewakili budaya Kalimantan Tengah, khususnya Pontianak sebagai tuan rumah. Pembukaan Rapat Kerja Nasional AMAN ke III pada 19 Februari 2013 dibuka dengan ritual Balian Bulan yang bermakna (kebulatan tekad). Dalam ritual ini, Mardiana (pembimbing sanggar Rirung Mange) menancapkan “Gunung Perak” kepada Abdon Nababan, selaku SEKJEN AMAN. Gunung Perak terdiri atas janur yang dihias dari berbagai macam daun kelapa sebagai inisiasi dari harapan dan tunas pelepah pisang untuk mewakili awal yang baik. Gunung Perak melambangkan harapan dan kejayaan. Sebuah ritual yang menarik untuk pembukaan dialog umum, sarasehan dan Rapat Nerja Nasional AMAN 2013. Abdon Nababan mengungkapkan pada Dialog umum dengan tema “Dari gerakan masyarakat adat nusantara menuju Indonesia baru yang berdaulat dan mandiri”, bila masyarakat adat masih belum juga mendapatkan kepastian hukum, pengakuan dan perlindungan dari negara. “Disini kita hendak melihat dan mengkaji bagaimana prosesi dan nilai-nilai sakral sejak disatukannya bangsa ini dibalik Pancasila,” papar Hein Namotemo, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Pemandangan pluralisme memang begitu kental pada pembukaan Rakernas AMAN 2013. “Kita membawa maju bangsa Indonesia ini ke depan, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Kita harus mengingat bahwa republik Indonesia ini dibangun oleh masyarakat adat ada Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, itu adalah masyarakat adat,” tambah Hein. Hein menambahkan, namun tetap terjadi berbagai kesengsaraan,penderitaan, kesewenang-wenangan, terhadap masyarakat Adat, untuk Indonesia bagian timur, masih jauh tertinggal dari saudara-saudara kita yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, menyambut secara luar biasa dengan Dialog Umum, Sarasehan dan Rakernas AMAN ke III, pada awal sambutannya Teras Narang menjelaskan secara historis, bila sebelum negeri ini terbentuk, terdapat keberadaan masyarakat adat. “sudah selayaknya dan sepatutnya masyarakat adat berperan menjadi pengatur dalam otoritasnya, bukan semata-mta sebagai intervensi negerinya,” ungkap Narang. Hukum adat dan nilai kearifan lokal merupakan kekayaan dari masyarakat adat dan konflik dalam masyarakat adat khususnya konflik agraria dan kepemilikan tanah perlu disolusikan dalah satunya dengan perancangan dan pengesahan undang-undang untuk pengakuan masyarakat adat yang akan dibicarakan dalam Rakernas kali ini. “undang-undang ini harus disahkan”. Narang pun menegaskan, meskipun saya tidak menjadi Gubernur dan tidak menjadi pejabat lagi, saya akan tetap memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat. Selanjutnya digelar sosialisasi unit Koperasi AMAN Mandiri. //*****RSA

Writer : RSA | Jakarta