Oleh Mohamad Hajazi, Dika Setiawan, Joanny F.M Pesulima

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi sorotan dalam dialog umum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) VIII di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara pada Senin, 14 April 2025.

Pembangunan yang dinilai kontroversial ini hanya menyisakan luka yang mendalam bagi Masyarakat Adat yang tinggal di wilayah IKN hingga sampai terusir dari tanah leluhurnya.

Yati Dahlia, perwakilan Masyarakat Adat dari komunitas Balik Sepaku yang terdampak IKN menggambarkan betapa kerasnya hantaman yang dirasakan Masyarakat Adat akibat pembangunan IKN. Menurutnya, perubahan lanskap dan ruang telah memaksa Masyarakat Adat mengubah cara hidup mereka dalam waktu singkat. Perempuan adat misalnya, kini kehilangan lahan untuk berkebun dan terpaksa beralih profesi ke sektor-sektor yang asing bagi mereka.

“Ada yang menjadi petugas kebersihan, ada juga yang berdagang. Padahal mereka tidak punya kemampuan di bidang itu,” ungkapnya dalam dialog umum yang dipandu Sekjen AMAN dua periode (2007-2012 dan 2012-2017) Abdon Nababan.

Yati menambahkan selain kehilangan sumber penghidupan, Masyarakat Adat di wilayah IKN  juga menghadapi krisis air bersih. Sungai yang dulu menjadi sumber air utama telah berubah menjadi tanggul. Sumur yang mereka gali pun menghasilkan air yang tidak layak konsumsi.

“Kami kesulitan mendapat air bersih. Air sumur pun kotor,” ujarnya.

Yati juga menyoroti tidak ada mekanisme kesepakatan atau ganti rugi yang adil dalam proses pembangunan IKN.

“Kami hanya diberitahu bahwa tanah kami masuk ring satu pembangunan. Tidak ada pilihan, tidak ada penawaran tanah tukar tanah atau tanah tukar uang,” imbuhnya.

Akibatnya, banyak Masyarakat Adat terpaksa pindah jauh dari keluarga, hingga ke perbatasan Kalimantan.

Menanggapi hal ini, Deputi Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN Alimuddin, yang turut menjadi pembicara dalam dialog umum membantah pernyataan Yati Dahlia, sembari menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan penggusuran terhadap Masyarakat Adat.

“Konflik yang terjadi kebanyakan antara Masyarakat Adat dan perusahaan, bukan dengan kami (IKN),” sanggahnya.

Alimuddin mengklaim perlindungan Masyarakat Adat adalah prioritas dalam pembangunan IKN. Ia juga berjanji akan menyelesaikan persoalan akses air bersih. “Bu Dahlia jangan khawatir soal air bersih. Ibu bisa tuntut saya,” ujarnya saat berdialog dengan peserta Rakernas AMAN.

Klaim IKN ini berbeda dengan data di lapangan. Testimoni Masyarakat Adat menunjukkan ketimpangan antara klaim pembangunan berbasis budaya dan kenyataan yang dihadapi Masyarakat Adat. Konsep “forest city” atau kota hijau yang digadang-gadang dalam pembangunan IKN dinilai justru menggusur hutan dan ruang hidup Masyarakat Adat.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengkritisi pembangunan IKN di era  pemerintahan Presiden Joko Widodo yang justru memperburuk keadaan Masyarakat Adat.

Rukka menyebut persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat  tidak pernah surut dari persoalan, namun semakin kompleks dengan terus bertambahnya program pembangunan yang merusak. Ia mencontohkan nasib Masyarakat Adat Sepaku di Kalimantan Timuryang telah kehilangan ruang hidup akibat proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).

“Lahan adat yang masih luas untuk memenuhi kebutuhan hidup, kini telah raib karena ambisi besar IKN,” ujarnya.

Masyarakat Adat Tidak Anti Pembangunan

Yance Arizona, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa sejatinya Masyarakat Adat tidak anti terhadap pembangunan. Justru, Masyarakat Adat yang selama ini menjadi korban dari pembangunan.

“Bagi Masyarakat Adat, tanah adalah hak yang melekat, sekaligus identitas. Jadi, tidak mungkin Masyarakat Adat anti pembangunan,” tegasnya.

Yance juga menyoroti stagnasi legislasi RUU Masyarakat Adat serta tumpang tindih kebijakan pemerintah yang semakin memperlebar jurang ketidakadilan. Dalam situasi ini, katanya, resiliensi saja tidak cukup.

Yance mengajak Masyarakat Adat memperkuat resistensi sebagai sikap politik dan langkah perlindungan atas eksistensi mereka di tengah gempuran pembangunan yang eksploitatif.

“Demokrasi kita sedang mengalami kemunduran. Ini bukan lagi era demokratisasi, tapi otoritarianisasi. Dalam situasi seperti ini, resistensi Masyarakat Adat menjadi penting, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk memastikan pembangunan tidak menghapus identitas,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Barat, Banten, Ambon

Writer : Mohamad Hajazi, Dika Setiawan dan Joanny F.M Pesulima | NTB, Banten dan Ambon
Tag : Rakernas AMAN VIII Dialog Umum