.jpeg)
AMAN Kecam Tindakan Brutal Polisi Tembaki Masyarakat Adat di Halmahera Timur
30 April 2025 Berita Joanny F. M. PesulimaOleh Joanny F.M Pesulima
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengecam tindakan brutal anggota kepolisian dari satuan Brimob yang menembaki ratusan Masyarakat Adat saat berunjukrasa di kantor perusahaan tambang nikel PT Sembaki Tambang Sentosa pada Senin, 28 April 2025.
Para pengunjukrasa yang datang dari Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara ini ditembaki dengan gas air mata saat menuntut perusahaan menghentikan aktivitas pertambangannya di wilayah adat desa Wayamli.
Selain menuntut perusahaan menghentikan aktiviatsnya, Masyarakat Adat yang berunjukrasa juga menuntut pertanggungjawaban pihak perusahaan yang telah menggusur perkebunan kelapa milik warga di Dusun Memeli , Desa Pekaulang.
Aksi unjukrasa yang awalnya berlangsung damai ini berakhir ricuh setelah puluhan anggota Brimob melepaskan tembakan gas air mata ke arah pengunjukrasa. Akibatnya, sejumlah Masyarakat Adat yang ikut unjukrasa terluka kena tembakan gas air mata.
Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Halmahera Timur, Defris Dubulie menyebut ada beberapa korban yang terkena tembakan gas air mata, diantaranya Riski Johan Bowai terkena tembakan pada bagian kaki dan betis, Mulyadi Palangi terkena dibagian bahu kanan, perut dan lengan atas. Sementara, Sulandra Asri terkena tembakan dibagian jemari kanan.
Defris mengecam tindakan brutal anggota Brimob yang telah menembaki Masyarakat Adat dengan gas air mata. Dikatakannya, tembakan itu dilakukan dari jarak dekat disaat Masyarakat Adat sedang bergerak maju untuk berunjukrasa menyampaikan tuntutannya.
“Saya mengecam tindakan brutal ini, seharusnya aparat kepolisian melindungi Masyarakat Adat bukan sebaliknya menyerang dengan tembakan gas air mata,” kata Defris.
Defris juga mempertanyakan sikapi aparat kepolisian yang cenderung membela perusahaan yang sudah merugikan Masyarakat Adat. Menurutnya, polisi harus membela kepentingan Masyarakat Adat sebagai korban bukan sebaliknya melindungi korporasi.
Defris menerangkan sejatinya Masyarakat Adat sedang memperjuangkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan PT Sembaki Tambang Sentosa. Karenanya, Defris meminta kepolisian untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan menghentikan eksploitasi perusahaan. Ia menuntut perusahaan menghentikan segala bentuk aktivitas pertambangan sembari bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi ini.
Defris tidak mentolerir cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat keplisian terhadap Masyarakat Adat yang menuntut haknya. Menurutnya, siapa pun yang menjadi tameng bagi perusahaan yang mengekspolitasi wilayah adat, maka mereka itu adalah lawan dan musuh Masyarakat Adat.
Pengakuan Korban
Riski Johan Bowai, salah seorang korban penembakan menceritakan alasan Masyarakat Adat menjadi geram dan melawan saat melakukan aksi unjukrasa. Perlawanan terjadi saat para perempuan adat yang berunjukrasa di garis depan berjatuhan karena didorong cukup kuat oleh aparat kepolisian. Padahal saat itu, terangnya, Masyarakat Adat yang berunjukrasa belum memasuki kawasan perusahaan. Tapi, aparat kepolisian keburu bertindak represif dengan menembaki Masyarakat Adat dengan gas air mata.
“Kami ditembaki dengan gas air mata, padahal posisi kami berada di luar area perusahaan,” akunya.
Riski menjelaskan aksi menuntut penghentian aktivitas perusahaan tambang nikel di wilayah adat desa Wayamli sebenarnya sudah berlangsung pada 16-21 April 2025, namun aksi berkembang hingga melibatkan masyarakat dari desa Buli karena merasa Masyarakat Adat dipermainkan. Terbukti, tuntutan Masyarakat Adat tidak direspon padahal ada tujuh pelanggaran yang dilakukan perusahaan PT Sembaki Tambang Sentosa, diantaranya tidak memiliki AMDAL dan izin lingkungan.
Korban tindakan brutal dari aparat. Dokumentasi AMAN
Kekerasan Terus Berlanjut
Julfikar Sangaji dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara dan Gufran Kahar dari perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Maba Tengah juga mengecam tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat yang tengah melakukan aksi unjukrasa di kantor perusahaan PT Sembaki Tambang Sentosa.
Dalam siaran persnya, mereka menyatakan kekerasan aparat kepolisian ini tidak hanya berlangsung sekali ini, sebelumnya juga terjadi pada Sabtu, 26 April 2025. Polisi melakukan tindakan represif terhadap Masyarakat Adat Wayamli. Warga dipaksa pulang, bahkan sebagian diborgol polisi, saat sedang berjaga di wilayah adat mereka yang telah digusur PT Sembaki Tambang Sentosa
Menurut Julfikar, rentetan peristiwa kekerasan ini menandakan kejahatan struktural terhadap rakyat terus berlangsung, di mana polisi justru berfungsi sebagai alat kekuasaan bagi perusahaan yang merusak lingkungan dan menggusur tanah adat.
“Polisi yang seharusnya melindungi hak-hak Masyarakat Adat, justru menggunakan kekuatan brutal untuk membungkam aspirasi mereka,” ujarnya dengan miris.
Atas kejadian ini, Julfikar menuntut Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dan Provinsi Maluku Utara untuk segera menghentikan segala bentuk brutalisme aparat ini.
“Rakyat harus dilindungi dari kekerasan yang terus berulang,” tandasnya sembari mendesak agar perusahaan PT Sembaki Tambang Sentosa bertanggungjawab atas segala kerusakan yang telah ditimbulkan dan menghentikan segala aktivitas pertambangan di tanah adat yang telah merusak ekosistem dan kehidupan Masyarakat Adat.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Maluku