Oleh Tim Infokom AMAN

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah perwakilan Masyarakat Adat dari  berbagai wilayah Indonesia melaporkan kasus kriminalisasi, intimidasi dan perampasan wilayah adat kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume.

Pelaporan yang dipimpin Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi ini berlangsung dalam pertemuan informal di sela-sela First Global Congress of Indigenous Peoples and Local Communities from the Forest Basins di Brazzaville, Republik Kongo, pada 26-30 Mei 2025.

Pada kesempatan ini, Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa kekerasan terhadap Masyarakat Adat bukanlah serangkaian insiden terpisah, melainkan bagian dari pola sistematis dan terstruktur yang terus berulang di berbagai wilayah.

“Ada pola yang sangat khas: intimidasi, kriminalisasi, pelarangan meliput, pelarangan memakai atribut jurnalis adat, hingga pengawasan terhadap rumah dan keluarga aktivis,” ungkapnya.

Rukka menambahkan salah satu yang paling mengkhawatirkan dari pola tersebut adalah strategi negara dan korporasi dengan mengkriminalisasi pemimpin adat, baik secara hukum, politik, maupun simbolik.

“Mereka tidak membunuh gerakan secara langsung, tapi membungkam sumber kekuatannya: para pemimpin adat. Kalau pemimpinnya dikriminalisasi, komunitas akan takut. Kalau komunitas takut, perjuangan lumpuh,” ujarnya.

Rukka menegaskan pendekatan ini bukan kebetulan, melainkan strategi sistematis yang telah berlangsung lama dan menyasar secara terencana sosok-sosok yang dianggap menjadi simbol atau jantung perlawanan komunitas.

Papua: Kehadiran Aparat Bersenjata Memaksa Masyarakat Adat Keluar dari Wilayah Adat

Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) Region Papua, Dorince Mehue, yang turut hadir dalam pertemuan ini melaporkan kondisi Masyarakat Adat di Papua. Dorince menggambarkan situasi mencekam yang dialami komunitas Masyarakat Adat Papua, khususnya yang berada di wilayah konflik. Ia menyampaikan bahwa kehadiran aparat bersenjata yang menetap secara permanen di kampung-kampung telah memaksa Masyarakat Adat keluar dari wilayah adat mereka sendiri.

“Masyarakat Adat tidak bisa lagi berkebun, tidak bisa mencari makan, anak-anak tidak bisa sekolah, dan Perempuan Adat menjadi korban paling awal,” ungkap Dorince.

Ditambahkannya, situasi seperti ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Dorince menekankan pentingnya perhatian langsung dari lembaga Internasional terhadap situasi darurat yang saat ini dihadapi komunitas Masyarakat Adat Papua.

“Kami minta Pelapor Khusus bisa berkunjung langsung ke Papua, melihat sendiri bagaimana Masyarakat Adat hidup dalam ketakutan di wilayah adat mereka sendiri,” ujarnya.

Dorince Mehue, DAMANNAS Region Papua melpaorkan kasus yang terjadi di papua kepada pelapor Khusus PBB, Albert K. Barume. Dokumentasi AMAN

Kalimantan Selatan: Konservasi Menjadi Kedok Mengusir Masyarakat Adat

Sama halnya dengan nasib Masyarakat Adat di Papua, nasib Masyarakat Adat di Kalimantan Selatan juga dilaporkan oleh Ketua Pelaksana Harian  AMAN Wilayah Kalimantan Selatan, Rubi.  Ia menyampaikan bahwa klaim konservasi yang digaungkan oleh negara justru menyingkirkan Masyarakat Adat Pegunungan Meratus dari wilayah adat mereka. Rubi menyebut komunitas Masyarakat Adat tidak pernah dilibatkan dalam proses penetapan kawasan konservasi.

“Kami bukan hanya tidak dilibatkan, tapi juga dikriminalisasi ketika berada di wilayah adat sendiri,” kata Rubi sembari mencontohkan ada Masyarakat Adat yang dipanggil polisi hanya karena lewat di tanah adat.

Rubi menyebut konservasi di Kalimantan Selatan telah berubah menjadi kedok untuk pengusiran dan pembatasan ruang hidup komunitas Masyarakat Adat.

Rubi Juhu, Ketua PHW AMAN Kalimantan Selatan melaporkan kasus yang terjadi di Kalimantan kepada pelapor khusus PBB, Albert K. Barume. Dokumentasi AMAN

Tano Batak: Pemimpin Adat Jadi Sasaran Kriminalisasi

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak, Jhontoni Tarihoran, yang hadir dalam pertemuan ini juga melaporkan kasus penangkapan pemimpin adat kepada Pelapor Khusus PBB.

Jhontoni menyebut ada dua pemimpin adat di Tano Batak yakni John dan Tony ditahan karena mempertahankan wilayah adat. Jhontoni menambahkan pemimpin adat menjadi sasaran kriminalisasi. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari strategi sistematis untuk melemahkan perjuangan komunitas Masyarakat Adat.

“Negara tahu siapa yang harus ditangkap agar komunitas Masyarakat Adat lumpuh. Mereka selalu menyasar pemimpin adat yang menjadi tulang punggung perlawanan,”ujarnya.

Jhontoni Tarihoran, Ketua PHW AMAN Tano Batak  melaporkan kasus yang terjadi di Tano Batak kepada pelapor khusus PBB, Albert K. Barume. Dokumentasi AMAN

Maluku Utara: Dikepung Tambang

Afrida Erna Ngato dari DAMANNAS Region Maluku dalam kesempatan ini melaporkan kepada Pelapor Khusus PBB bahwa dirinya menghadapi langsung ancaman kriminalisasi.  Afrida mengaku telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan sedang dikejar oleh pihak kepolisian.

“Saya sudah dua kali dipanggil, dan jika tidak hadir, akan langsung ditangkap. Saat ini saya berlindung di Jakarta, tidak bisa kembali ke kampung karena ancaman itu,” ungkap Afrida.

Ia menceritakan kasus ini bermula dari ritual adat yang ia pimpin bersama Masyarakat Adat. Namun, keberadaan dan otoritasnya sebagai pemimpin adat dipersoalkan oleh pihak perusahaan, yang menggandeng otoritas Kesultanan setempat untuk melemahkan legitimasi adatnya.

“Saya punya rekaman suara pimpinan perusahaan yang menyatakan saya tidak berhak memimpin ritual karena bukan kepala suku, menurut versi Kesultanan,” jelasnya.

Afrida juga menyingkap bahwa perusahaan telah menguasai sekitar 29.200 hektare wilayah adat, dengan berbagai pelanggaran terhadap hak pekerja lokal. Ia, bersama suami dan anak-anaknya, siap menghadapi proses hukum. Namun, ia khawatir kriminalisasi ini akan digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti komunitas Masyarakat Adat lainnya.

“Saya khawatir, kasus saya dijadikan contoh untuk membungkam perlawanan. Maluku Utara itu gugusan pulau kecil yang sekarang dikepung tambang di 10 Kabupaten/Kota,” ungkapnya.

Afrida menambahkan setiap hari, dirinya menerima banyak laporan soal ekspansi tambang emas dan nikel. Aktivitas pertambangan ini jelas menebar ancaman kepada  komunitas Masyarakat Adat, termasuk Suku Ohonga Namanyawang dan komunitas Masyarakat Adat lainnya.

“Saya berharap Special Rapporteur bisa membantu menyuarakan bahwa Maluku Utara harus dikembalikan sebagai pulau rempah, bukan pulau tambang,” pintanya.

Afrida Erna Ngato, dari DAMANNAS Region Maluku melaporkan kasus yang terjadi di Maluku Utara kepada pelapor khusus PBB Albert K Barume. Dokumentasi AMAN

Pelapor Khusus PBB : Siap Fasilitasi

Menanggapi semua laporan Masyarakat Adat ini, Pelapor Khusus PBB, Albert K. Barume menyatakan terbuka terhadap pengaduan resmi dari komunitas Masyarakat Adat. Ia pun menyatakan siap memfasilitasi mekanisme allegation letter PBB kepada pemerintah Indonesia.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat PBB Kongo