Oleh Imanuel Kaloh

Kesadaran untuk melestarikan situs-situs peninggalan leluhur di Minahasa kian memudar. Di tengah situasi ini, Masyarakat Adat termasuk para pegiat adat dan budaya—terus berupaya menyelamatkan situs-situs bersejarah yang menjadi bagian dari warisan spiritual dan identitas budayanya. Salah satu fokus utama adalah perbaikan situs waruga: kuburan batu kuno khas orang Minahasa di Sulawesi Utara.

Waruga terbuat dari dua batu—satu berbentuk kotak sebagai dasar dan satu lagi berbentuk segitiga sebagai penutup. Dahulu, waruga digunakan sebagai tempat penguburan dan pelaksanaan ritual kematian. Keberadaannya menandai sejarah panjang peradaban dan sistem kepercayaan masyarakat Minahasa di masa lampau.

Glen Walujan, salah satu pegiat budaya Minahasa, menyebut penyelamatan situs waruga sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari.

"Kerja-kerja ini sudah mendarah daging," ungkapnya.

Semangat itu tumbuh dari dorongan kolektif bersama komunitas adat untuk menjaga warisan leluhur di tanah kelahiran. Kali ini, Masyarakat Adat Toumbulu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta jaringan komunitas budaya lainnya, bergotong royong menyelamatkan situs Waruga di Wanua Toumbulu. Pemugaran situs telah dilakukan secara swadaya sejak 2017, dan dilanjutkan dengan kerja intensif selama tiga pekan terakhir di Juni 2025. Setelah bertahun-tahun pemugaran, tibalah waktunya digelar Upacara Sumampet Waruga.

“Setelah berbagai proses, tantangan, dan penolakan, akhirnya Waruga ini boleh diupacarai dengan Sumampet. Meski dalam prosesnya kami harus meninggalkan urusan keluarga maupun pekerjaan,” ujar Walujan.

Upacara Sumampet dilaksanakan di Wanua Sawangan, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara pada Jum’at, 20 Juni 2025. Para pegiat budaya, perwakilan Pemerintah Desa dan Kabupaten turut hadir dalam upacara ini.

Glen Walujan, yang juga merupakan staf AMAN Sulawesi Utara, menjelaskan bahwa ritual ini lazim dilakukan dalam momen-momen penting seperti pemindahan tulang belulang leluhur, konflik agraria, penyambutan musim tanam, atau sebagai penanda berakhirnya suatu aktivitas kolektif. Dalam konteks ini, Sumampet menjadi penanda selesainya proses pemugaran situs yang telah berlangsung selama tujuh tahun.

“Penyelamatan situs sangat penting. Situs bukan sekadar benda atau tanah. Situs adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tou (orang) Minahasa. Karena semangat teman-teman, ratusan bahkan ribuan waruga sudah kami perbaiki,” tambahnya.

Ia berharap pemerintah dan masyarakat bisa bersatu dalam upaya penyelamatan situs sejarah di Minahasa.

Toungaas Rinto Taroreh, salah seorang pegiat budaya Minahasa lainnya menuturkan upacara Sumampet Waruga menandai selesainya rangkaian panjang kerja komunitas dan pegiat budaya.

Sumampet, dalam tradisi Minahasa, adalah ritual adat yang dilakukan oleh dan untuk Masyarakat Adat. Ritual ini sakral dan menjadi penghubung spiritual antara manusia, leluhur, dan alam.

Dalam upacara Sumampet, biasanya disiapkan berbagai sesajian yang disebut rumetaan, sebagai simbol penghormatan kepada para leluhur. “Ibarat akhir tahun, masyarakat datang membawa bunga dan lilin untuk menghormati orang-orang yang hidup sebelum mereka,” terang Rinto.

Sajen yang disiapkan meliputi daun sirih, buah pinang, kower, dan sembilan wadah minum dari bambu berisi saguer, minuman tradisional khas Minahasa dari nira pohon enau (aren). Jumlah sajen disesuaikan: sembilan. “Angka sembilan adalah angka tertinggi menurut hitungan orang Minahasa,” jelas Taroreh.

Taroreh menuturkan pada tahun 2017, terjadi perusakan situs waruga di desa Sawangan. Komunitas segera bergerak menata kembali area yang rusak. Namun karena faktor alam, lokasi tempat berdirinya waruga tergerus dan fondasinya roboh. Pada 2025, setelah proses diskusi dan kesepakatan, komunitas Masyarakat Adat dan pegiat budaya kembali melakukan penataan situs secara kolektif.

Ia berharap kerja-kerja pemugaran yang dilakukan secara mandiri oleh komunitas Masyarakat Adat dan pegiat budaya bisa menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian situs sejarah.

“Sumampet bukan sekadar praktik spiritual. Ia adalah penguatan identitas dan kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah dan kehidupannya,” katanya.

Upacara Sumampet Waruga di Wanua Sawangan, Kecamatan Tombulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dokumentasi AMAN

Ritual Sumampet: Kunci Pemulihan Waruga

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Sulawesi Utara, Kharisma Kurama menegaskan keberadaan Waruga adalah penanda bahwa suatu wilayah merupakan tanah adat milik orang Minahasa. Waruga bukan hanya peninggalan leluhur, tetapi juga simbol identitas dan keberlanjutan pengetahuan.

Kharisma mengingatkan dalam konstruksi hukum negara, perbaikan situs adalah tanggung jawab bersama, termasuk tanggung jawab negara. Pasal 18B dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan dan hak Masyarakat Adat. Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 juga memuat pedoman pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah dan Masyarakat Adat, termasuk di dalamnya situs-situs seperti waruga.

“Bayangkan, satu situs saja butuh waktu bertahun-tahun untuk diperbaiki. Bagaimana dengan ribuan situs lainnya? Banyak energi telah dikeluarkan, bahkan mengorbankan banyak hal. Padahal, penyelamatan situs adalah bagian dari sejarah panjang bangsa Minahasa,” tegas Kharisma.

Ia berharap kegiatan ini menjadi contoh konkret agar ke depan tidak ada lagi perusakan situs atas nama kebijakan negara maupun korporasi.

“Sumampet bukan hanya mengakhiri kerja-kerja pemugaran. Tapi, membuktikan dan menegaskan bahwa ini adalah tanah adat milik orang Minahasa—dan tidak ada yang bisa membantah itu,” serunya.

Peran Pemerintah Dalam Penyelamatan Situs

Kepala Dinas Kebudayaan Minahasa, Thelma Lapian menyatakan pemerintah menjamin legalitas situs budaya. Thelma juga berjanji pemugaran situs yang dilakukan secara swadaya oleh Masyarakat Adat akan didaftarkan sebagai bagian dari daftar cagar budaya.

“Apa yang dilakukan komunitas Masyarakat Adat dalam penyelamatan situs adalah hal yang sangat positif, dan tentu akan didukung penuh oleh pemerintah,” ujarnya.

Santi Lengkong selaku Camat Tombulu menyatakan komitmennya untuk terus mendorong musyawarah desa guna mendata situs-situs yang belum tersentuh pemugaran. Ia juga menjamin lahan kompleks situs akan tetap menjadi hak milik Masyarakat Adat sebagai bagian dari perlindungan terhadap ruang hidup.

“Tentu kami berharap masyarakat dapat membantu pemerintah dalam mendata situs, sekaligus memberikan pemahaman tentang sejarah dan latar belakang waruga yang ada,” tutupnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Minahasa, Sulawesi Utara

Writer : Imanuel Kaloh | Minahasa, Sulawesi Utara
Tag : Sumampet Waruga Penguatan Identitas Masyarakat Adat Minahasa