Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), WALHI, KIARA, dan Mikael Ane—anggota Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang pernah dikriminalisasi akibat menjaga wilayah adatnya.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menilai sidang putusan yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo tersebut legal tapi tidak memiliki legitimasi di mata Masyarakat Adat.

“Undang-Undang (KSDAHE) ini boleh saja dianggap legal oleh para pengambil kebijakan dan Mahkamah Konstitusi. Tapi bagi kami, proses pembentukan Undang-Undang KSDAHE serta putusan MK ini tidak mencerminkan partisipasi penuh dan efektif. Dalam kacamata Masyarakat Adat, UU KSDAHE ini legal but not legitimate,” kata Rukka usai pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji formil UU KSDAHE pada Kamis, 17 Juli 2025.

Menurut Rukka, pengesahan UU KSDAHE tanpa partisipasi penuh dari Masyarakat Adat dan tidak efektif.  Rukka menyoroti dari 21 pembahasan, hanya dua yang dibuka untuk umum. Sementara, masukan dari Masyarakat Adat dan masyarakat sipil sama sekali tidak diakomodir.

“Hal ini memperkuat temuan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Konservasi Berkeadilan bahwa sebagian besar dokumen rapat tidak bisa diakses publik,” ungkapnya.

Putusan yang Tidak Konsisten

Direktur Advokasi Kebijakan Hukum AMAN, Muhammad Arman selaku tim kuasa hukum pemohon dari Tim Advokasi untuk Konservasi yang Berkeadilan menilai Mahkamah Konstitusi tidak konsisten terhadap putusan sebelumnya. Ia merujuk pada putusan MK 91/PUU-XVIII/2020, yang telah menetapkan standar partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam proses legislasi.

“Putusan MK yang menolak permohonan kami, AMAN, WALHI, KIARA, dan Mikael Ane itu sekaligus menjelaskan bahwa MK secara tidak konsisten menerapkan putusannya sendiri. Dalam hal ini, putusan MK 91 tentang partisipasi penuh dan bermakna telah diabaikan,” tegas Arman.

Menurutnya, partisipasi formal semata seperti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tidak cukup. Proses legislasi harus dibuka secara penuh, transparan, dan akuntabel bagi publik, apalagi bila menyangkut wilayah dan sumber penghidupan Masyarakat Adat.

Asrul San, Hakim yang melayangkan alasan berbeda (concurring opinion) dan M. Guntur Hamzah pembaca pertimbangan hukum. Dokumentasi AMAN

Dissenting Opinion: Dua Hakim MK Sebut Ada Pelanggaran

Dalam sidang pembacaan putusan MK, dua hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Suhartoyo dan Hakim Saldi Isra menilai proses legislasi UU KSDAHE telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tertutup tanpa alasan yang valid.

Menurut kedua hakim tersebut, pelaksanaan rapat-rapat pembahasan secara tertutup menyebabkan publik, termasuk Masyarakat Adat dan komunitas lokal kesulitan mendapatkan informasi mengenai isi dan perkembangan UU KSDAHE. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterlibatan publik yang bermakna dan substantif, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

“Keterbukaan dalam tahap pembahasan merupakan titik kulminasi perwujudan partisipasi publik. Hakikat proses dialogis dalam prinsip meaningful participation tidak mungkin terwujud dalam pembahasan yang tertutup,” demikian bunyi pendapat kedua hakim.

Keduanya bahkan menyatakan bahwa UU KSDAHE seharusnya dinyatakan cacat formil, karena tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi. Dengan demikian, pokok permohonan para pemohon dinilai beralasan menurut hukum dan seharusnya dikabulkan, setidak-tidaknya sebagian.

Terus Mengawal Konservasi yang Adil

Putusan Mahkamah Konstitusi ini memang menolak permohonan uji formil, namun pada saat yang sama menegaskan pentingnya partisipasi penuh dan bermakna dalam proses legislasi.

“Dengan permohonan uji formil ini, pemerintah dan DPR harus mulai menata ulang proses legislasi yang inklusif, demokratis, dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati,” kata Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus, kuasa hukum pemohon dari Tim Advokasi untuk Konservasi yang Berkeadilan.

Dikatakannya, koalisi pemohon akan terus mengawal pelaksanaan UU KSDAHE dan memastikan Masyarakat Adat tidak lagi disingkirkan dari kebijakan yang menyangkut ruang hidup dan wilayah adat.

Writer : Wulan Andayani Putri | Jakarta
Tag : UU KSDAHE MK