“wilayah rampi adalah hidup kami, jika wilayah rampi ingin dirampas oleh pemerintah dan perusahaan tambang maka rampaslah bersama nyawah kami sekaligus” (tokoh adat rampi) Pada dasarnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (baca: gubernur dan Bupati/Walikota) memang diberi kewenangan untuk memberikan izin tambang kepada perorangan, koperasi, dan perusahaan. Akan tetapi, tidak dengan mudah pemerintah dapat memberikan izin kepada perusahaan pertambangan. Apalagi dikaitkan dengan kelestarian lingkungan dan kemanusiaan. Jika Hal tersebut dilakukan secara sepihak atau seenaknya oleh pemerintah tentu sudah dapat dipastikan akan menuai jalan terjal. Selama ini kita telah mengetahui bersama bahwa dalam pengambilan keputusan atau pemberian izin pertambangan tidaklah dalam kesewenang-wenangan pemerintah. Melainkan ada beberapa tahapan yang harus didasarkan pada tiga kriteria yang berbasis pada permasalahan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar usaha pertambangan tersebut, Pertama; memperhatikan Perlindungan hukum dan kepentingan masing-masing pihak. Kedua; mengetahui secara jelas Potensi ancaman terhadap hak-hak masyarakat yang bersumber dari rusaknya lingkungan hidup dan dampak lanjutannya. Ketiga; bagaimana potensi ancaman terhadap masa depan kesejahteraan hidup manusia yang ada diwilayah tersebut. Selain itu perlu diingat bahwa ada beberapa permasalahan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh perusahaan tambang, diantaranya dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah keadaan muka tanah, dapat mengubah keseimbangan sistem ekolo¬gi bagi daerah sekitarnya, dapat menimbulkan tanah longsor, gempa, pencemaran lingkungan akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, karena limbah/buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Karena itu, dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang nantinya dapat ditimbulkan oleh perusahaan tambang, maka dalam pertemuan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Rampi, Ikatan Pemuda Mahasiswa Rampi (IPMR) dan Perkumpulan Wallacea Palopo di Luwu Utara (Masamba) minggu siang 27 oktober 2013, masyarakat adat rampi dengan tegas menolak secara keseluruhan kegiatan pertambangan yang ada dirampi, sikap penolakan tersebut disertai tanda tangan penolakan warga dan akan disampaikan langsung oleh Tokoh adat masyarakat rampi sebagai perwakilan saat menghadiri undangan pertemuan yang akan digelar pada tanggal 29 oktober 2013 dihadapan pemerintah luwu utara serta PT. Kalla Arebama. PT. Kalla Arebama ini hanyalah salah satu dari 9 perusahaan tambang yang telah mengantongi izin eksplorasi diwilayah Luwu Utara yakni rampi, seko, dan limbong, sehingga Dalam pertemuan pada tanggal 29 oktober 2013 nantinya, masyarakat adat rampi tidak hanya akan menyampaikan pernyataan sikap penolakannya terhadap perusahaan tambang PT. Kalla Arebama saja, melainkan PT. Citra Palu Minerals yang juga saat ini telah mengantongi izin eksplorasi khusus di wilayah rampi pun akan ditolak secara tegas oleh masyarakat adat. Selain itu, masyarakat juga akan menyampaikan kepada pemerintah daerah tentang adanya penambang liar yang keluar masuk beroprasi diwilayah rampi, dengan harapan agar kiranya sesegera mungkin dapat dikeluarkan oleh pemerintah, karena jika itu tidak dilakukan oleh pemerintah daerah (PEMDA) maka masyarakat adat rampi sendirilah yang akan mengeluarkannya, ungkap ketua adat rampi. Ada beberapa hal yang kemudian menjadi alasan dalam penolakan yang dilakukan masyarakat rampi, pertama; masyarakat rampi selama ini hidup dan menyekolahkan anak-anaknya dengan berternak hewan, jika perusahaan tambang masuk maka masyarakat rampi tidak akan bisa lagi berternak hewan dengan baik karena lingkungan akan rusak bahkan bisa jadi hewan-hewan yang selama ini dijadikan ternak akan punah. Kedua; masyarakat rampi meyakini bahwa dengan adanya tambang maka rampi kedepan akan tenggelam, bahkan daerah hilir yang berbatasan dengan rampi seperti mamuju, palu pun akan ikut tenggelam, ketiga; wilayah rampi tidak layak huni lagi jika ditambang karena sedikit demi sedikit akan menyempit sementara kita tidak sedang berbicara tentang hari ini esok dan lusa melainkan kita sedang berbicara untuk anak cucu kita, untuk dua puluh tahun mendatang. Jadi penolakan masyarakat adat rampi tidak semata-mata berbicara soal kelestarian lingkungan diwilayah rampi tapi juga berbicara soal wilayah tetangga yang beririsan langsung dengan rampi sehingga ini kemudian menjadi alasan kemanusiaan yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah Luwu Utara. Sumber: http://perkumpulanwallacea.wordpress.com/2013/10/28/masyarakat-adat-rampi-menolak-tambang/

Writer : Infokom AMAN | Jakarta