Orang mungkin bertanya-tanya kenapa masyarakat adat dari seluruh Nusantara harus berkongres di Tanjung Gusta. Ada apa di sana? Seperti apa Tanjung Gusta?

Kampong Tanjung Gusta adalah kampung bekas areal perkebunan kelapa sawit yang dikelola PTPN II. Sisa-sisa bongkol kelapa sawit masih terlihat disana sini, bahkan masih ada beberapa yang masih berdiri. Tapi, suasana kampung tampak mulai terbentuk.

Jalan-jalan kampung sudah tertata. Barisan rumah saling membelakangi, menghadap jalan yang saling bersimpangan lurus. Di sana sini masih banyak tanah kosong yang belum dibangun atau dijadikan kebun. Meski jalan-jalan itu masih dari tanah, tapi sudah terbayang kelak jadi kampung yang tertata.

Menariknya, seperti juga anggota BPRPI, penghuni kampung ini terdiri dari aneka etnik. Ada Melayu, ada Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Jawa, Minang, bahkan orang Manado. Selain mesjid, juga sudah ada gereja-gereja. Kampung Bhinneka Tunggal Ika.

Kampung ini masuk wilayah Kec. Hamparan Perak, Kab. Deli Serdang, sedikit diluar batas wilayah Kota Madya Medan. Lokasi ini adalah wilayah lanjutan hasil perjuangan Rakyat Penunggu yang bergabung dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) yang sejak tahun 1953 berjuang menuntut pengembalian tanah yang pernah disewa perusahaan perkebunan tembakau Belanda. Sesudah Indonesia merdeka, dan perusahaan Belanda dinaturalisasi, tanah sewaan itu mestinya kembali ke rakyat penunggu.

Perjuangan merebut lahan ini menimbulkan konflik berkepanjangan, bahkan peristiwa berdarah. Tapi dibawah pimpinan Afnawi Noeh, tahun 1982, pemerintah akhirnya mengembalikan 10.000 hektar kepada Rakyat Penunggu. Tapi Rakyat Penunggu terus berjuang menuntut lahan lain, termasuk Kampung Tanjung Gusta ini.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memilih berkongres di tempat ini karena BPRPI salah satu simbol perjuangan masyarakat adat merebut hak melawan negara. Selain itu AMAN memang berusaha menggilir pelaksanaan kongres di berbagai wilayah Nusantara. Kongres I berlangsung di Jakarta (1999), Kongres II di Lombok, Kongres III di Pontianak, dan Kongres IV di Tobelo, Maluku Utara.

Kedatangan ribuan delegasi masyarakat adat dengan aneka ragam pakaian adat menjadi pengalaman dan hiburan tersendiri bagi penduduk kampung Tanjung Gusta. Begitu pula pertunjukan aneka ragam seni dari berbagai daerah yang berlangsung setiap malam di dua panggung pertunjukan. Pertunjukan-pertunjukan itu selalu penuh penonton.

Kedatangan peserta kongres juga membangkitkan munculnya warung-warung dadakan. Juga penjual souvenir-souvenir dengan logo atau identitas KMAN V. Mulai dari pin, kaos, pulpen, gantungan kunci, dan barang lain. Kalau ini, tentu, kerja para orang-orang yang berjiwa dagang. Tapi apapun itu, semoga wawasan Nusantara warga Kampong Tanjung Gusta makin menemukan bentuk. *

Nestor RT

 

Writer : Nestor RT | Jakarta