Working Group Indigenous ICCAs (WGII), termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyampaikan masukan terhadap Rancangan Undang-undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU Kehati) di Ruang Rapat Komisi IV DPR RI, Jakarta (20/10). AMAN, salah satunya, mengkritisi Bab VII RUU Kehati Pasal 145 tentang Masyarakat Hukum Adat, khususnya ayat 2. “Penunjukan dan penetapan sistem pelindungan ekosistem penting di wilayah adat itu bertentangan dengan prinsip pengakuan atau rekognisi,” kata Mona Sihombing, Direktur Informasi dan Komunikasi Pengurus Besar AMAN. Lebih dari 70 juta masyarakat adat di Indonesia masih terus mengalami kriminalisasi. Sampai sekarang, dua tahun pemerintahan Jokowi-Kalla, belum ada kebijakan tegas untuk mengatasi kasus ini. “Karena itu, Masyarakat Adat harus dilindungi dari kasus kriminalisasi,” kata H. OO Sutisna, S.H., anggota komisi IV DPR RI Fraksi Gerindra. RUU ini merupakan salah satu mandat dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) dalam COP 21. Banyak lagi isi draft RUU KKHE yang harus diperbaiki, yang bolong, bahkan harus diganti sebelum RUU ini disahkan menjadi UU. Karena itu DPR RI Komisi IV mengundang beberapa lembaga seperti AMAN, Walhi, JKPP, HuMa, Pusaka yang tergabung dalam WGII. “Kalian bisa merubah, menghapus dan mengganti bab sebelum RUU ini disahkan,” kata anggota DPR RI Komisi IV Rahmad Handoyo S.PI, MM dari Fraksi PDIP. Sebelumnya dalam surat sebagaimana terdapat di situs resminya, Kementerian KLHK Siti Nurbaya memaparkan pesan Persetujuan Paris yang harus diikuti oleh Indonesia. Surat tersebut ditujukan kepada Ketua dan anggota DPR RI. Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo, MM, MBA meminta WGII agar membuat draft RUU sandingan. “Buatkan RUU sandingan ya, bukan tandingan,” tutupnya. (Jakob Siringoringo)

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta