Bogor, 24 April 2018 – Untuk meningkatkan literasi ekonomi atas keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya bagi para pihak, terutama penentu kebijakan pembangunan, AMAN telah melaksanakan Studi Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan di Enam Wilayah Masyarakat Adat pada kurun waktu Januari – Maret 2018 lalu. Dalam Lokakarya Hasil Kajian Valuasi (nilai) Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan di Wilayah Masyarakat Adat, dilaksanakan di Ballroom IPB Convention Center, Bogor – Jawa Barat, Senin (23/4/2018). Hasil studi dan kajian ekonomi di enam komunitas tersebut dikonsultasikan dan didiskusikan untuk menjaring masukan atas keseluruhan hasil yang diperoleh. Lokasi studi enam wilayah komunitas Masyarakat Adat ini, diantaranya adalah komunitas adat Karang – Banten, komunitas adat Kajang – Sulawesi Selatan, komunitas adat Kaluppini – Sulawesi Selatan, komunitas adat Seberuang – Kalimantan Barat, komunitas adat Saureinu – Kepulauan Mentawai dan komunitas adat Moi Kelim, kampung Malaumkarta – Papua Barat. Tujuan dari studi ini adalah sebagai pembelajaran untuk memperoleh gambaran keberadaan dan menakar kinerja sekaligus kontribusi ekonomi yang dimiliki oleh Masyarakat Adat, baik secara keberadannya dan wilayah adatnya yang sudah diakui. Selain itu, untuk menunjukkan kepada pembuat kebijakan, legislator dan perencana pembangunan, bahwa mengakui keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak ekonominya adalah sebuah pilihan yang sejalan dan mendukung rencana pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan, tanpa menimbulkan marjinalisasi dan pemindahan. Mubariq Ahmad Ph.D, Ahli Ekonomi dan juga Advisor Kajian Valuasi Ekonomi di enam wilayah Masyarakat Adat memaparkan bahwa ada 8 (delapan) hak ekonomi Masyarakat Adat yang perlu diakui melalui Undang-Undang Masyarakat Adat. Jadi, ini harus dibuat: kepemilikan dan akses, hak prioritas dalam pemanfaatan SDA, hak atas manfaat dari SDA, hak untuk tetap memiliki wilayah adat, hak perlindungan dari perusakan, hak perlindungan atas keberlanjutan fungsi layanan ekosistem, hak perlindungan dan atas manfaat dari penggunaan kearifan lokal, dan hak untuk mendapat perlindungan, kepastian dan pembuktian bahwa kebijakan atau program pembangunan pemerintah tidak bermuara pada penghilangan hak-hak Masyarakat Adat”, ujar Mubariq. “Itu kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan tim ekonomi, selanjutnya AMAN akan perjuangkan ini dan pastikan pasal-pasal yang mencerminkan ini bisa diakomodir dalam Undang-undang Masyarakat Adat,” lanjut Mubariq. Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN dalam sambutannya juga mengatakan bahwa dari hasil valuasi ekonomi di wilayah adat, sesungguhnya bicara tentang pembangunan Negara, itu bisa dilakukan bersama-sama pemerintah dengan masyarakat dan adat. “Kita tak perlu meletakkan seluruh pembangunan negeri ini hanya ditangan perusahaan besar, karena sudah terbukti mereka gagal! Kita berharap UU Masyarakat Adat segera disahkan dan bisa meletakkan kembali hubungan Masyarakat Adat dan Negara. Ini adalah sebuah impian bahwa Masyarakat Adat dan bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya itu tujuan kita bersama”. Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, Abdon Nababan yang turut hadir dalam Lokakarya tersebut dalam sambutannya mengatakan “Jadi saya bayangkan lewat laporan valuasi ekonomi ini akan muncul ekonom baru. Paling tidak, yang bisa memberikan gambaran lebih utuh tentang ekonomi Indonesia. Ekonomi yang secara ekosistem kita paling kaya, secara budaya juga paling kaya untuk keragaman suku”. Terkait perkembangan RUU Masyarakat Adat yang masuk Prolegnas saat ini, DIM sudah ada di kementerian terkait. Ada 6 (enam) Menteri yang ditugasi Presiden Jokowi mewakili pemerintah untuk membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR. Keenam Menteri tersebut adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri LHK, Menteri ATR/ Kepala BPN, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Desa, PDT dan Trasmigrasi, Menteri Hukum dan HAM. Selain itu, Menteri Dalam Negeri juga ditunjuk sebagai Koordinator untuk penyusunan DIM dari pemerintah. Sesuai aturan Undang-Undang, paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR RI diterima, maka Presiden harus segera menindaklanjutinya. Adapun saat ini, Sidang Paripurna sudah dilakukan pada tanggal 14 Februari 2018 lalu. Jika demikian, maka artinya DIM harus segera masuk dan dibahas bersama oleh DPR RI. – Titi Pangestu -

Writer : Titi Pangestu | Jakarta