Mewakili Masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) di NTT mendatangi Istana Negara di Jakarta tanggal 18 Mei. Mereka mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP) untuk mengadukan konflik warga terhadap wacana pembangunan waduk Lambo di wilayah adat Rendu Nagekeo sejak tahun 1999. Dalam pertemuan tersebut, Sinung Karto Kadiv Penanganan Kasus dan Perlindungan HAM AMAN PB AMAN, mendampingi perwakilan warga yang diwakili oleh Bernadinus Gaso, Willybrodus Bei Ou, Hemina Mawa dan Siti Aisyah menemui Hageng Nugroho Tenaga Ahli Madya Deputi II KSP. Ketua FPPWL, Bernadinus menjelaskan bahwa warga tidak menolak rencana pembangunan waduk di Lowo Se, tetapi keberatan dengan lokasi pembangunannya. Untuk itu, warga sudah menawari lokasi lain di wilayah adat Rendu yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka. Namun Pemerintah Daerah Nagekeo tidak pernah meresponnya. Lebih lanjut Bernadinus menyatakan alasan penolakan warga karena rencana pembangunan waduk akan menenggelamkan ribuan rumah warga, ribuan hektar wilayah adat, ratusan situs dan makam leluhur, berbagai fasilitas berupa sekolah, jalan dan rumah ibadah. Siti Aisyah, warga komunitas adat Ndora yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisan, menjelaskan kondisi warga yang masih tertekan paska tindakan represif Kepolisian Resor Ngada dan satuan Brimob pada tanggal 16 April. “Kami merasakan kehidupan kami tidak aman, waktu untuk kami bekerja diganggu, kehidupan kami di sana tidak nyaman karena kehadiran aparat kepolisian dan satuan Brimob sangat mengganggu pikiran dan ketenangan masyarakat di sana karena masyarakat sangat takut dengan senjata, alat senjata itu harusnya untuk berperang, bukan untuk mengawal pekerjaan proyek kalau memang proyek itu baik-baik.” terang Aisyah Lebih lanjut Aisyah menegaskan, ia tetap akan memperjuangkan wilayah adatnya dari ancaman rencana pembangunan waduk Lambo meskipun nyawa taruhannya. “Kenapa semudah ini tanah kami dicaplok oleh pemerintah memakai senjata untuk melakukan kekerasan dan kami adalah korban. Kami minta kepada bapak presiden Jokowi segera menghentikan kegiatan survei yang masih berjalan di lokasi karena itu sangat mengganggu ketenangan kami, dan kami harap intimidasi-intimidasi itu segera diproses karena kami adalah bagian dari masyarakat Indonesia, rakyatnya Bapak Presiden Jokowi. Kami punya hak yang sama di negara ini.” Sedangkan, Hermina Mawa warga Rendu hanya menyampaikan permintaan bertemu dengan Presiden Jokowi, untuk menyampaikan persoalan di komunitas adatnya. Menanggapi permasalahan warga tersebut, Hageng menyatakan perlunya dokumen berupa peta lokasi di wilayah adat Rendu Nagekeo sebagai rujukan KSP berkomunikasi dengan Kementrian PUPERA maupun dengan Pemerintah Daerah Nagekeo. Selain itu, Hageng juga menambahan pihak KSP memerlukan waktu untuk mendalami dibalik sikap Pemerintah Daerah Nagekeo yang memaksa wacana pembangunan waduk Lambo lokasi di wilayah di Lowo Se. “Nah memang ketika saya datang ke BBWS waktu di NTB itu, mereka bilang ada satu di NTT yang nampaknya agak susah dibangun karena memang ada masalah. Tapi saya belum cek waktu itu karena saya fokusnya di NTB, mereka cerita di NTT, saya tidak menanyakan detil, mungkin apakah yang dimaksd waduk ini (Lambo-red) karena saya rasa BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura-Red) dan pak menteri (Kementerian PUPERA-red) hubungannya pasti dari atas ke bawah, sangat struktural dan sangat bisa dipahami langsung oleh BPWS apapun yang diarahkan dari pak menteri. Nah nanti saya akan coba cek ke BPWS itu bagaimana sebenarnya komunikasi dengan pak menteri apakah mendapat arahan harusnya menunggu warga, tadikan keputusan pak menteri bilang kalau satu warga gak setuju gak usah aja.” Hageng juga menambahkan, ia tidak dapat menjanjikan permintaan warga untuk dapat bertemu dengan Presiden Jokowi. Namun pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) guna menarik aparat Kepolisian Resor Ngada dan satuan Brimob yang masih berada di wilayah adat Rendu Nagekeo. Eka Hindrati-Infokom PB AMAN

Writer : Eka Hindrati | Jakarta