www.aman.or.id - Kamis (19/07), Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi menerima kunjungan Sekretaris Kabinet yang diwakili oleh Asisten Staf Khusus Presiden Riyan Suminder di Kantor Pengurus Besar AMAN di Jakarta. Pertemuan yang dihadiri oleh Para Deputi dan Direktur PB AMAN membahas komitmen Presiden Jokowi terhadap janji yang tertuang di dalam Nawacita untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Dalam pertemuan ini Rukka menyatakan dua hal yang paling penting di dalam Nawacita adalah UU Masyarakat Adat dan lembaga permanen yang khusus dibentuk di tingkat pusat, untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan dan kesejahteraan Masyarakat Adat. AMAN menyebutnya Komisi Nasional Masyarakat Adat. Masyarakat Adat sudah terlalu lama menunggu janji Nawacita.

“Data dari Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KLHK 2018 menyebutkan potensi hutan adat seluas 7.150.085 hektar. Sementara hutan adat yang diakui pemerintah baru 17.089 hektar. Padahal AMAN telah menyerahkan peta wilayah adat kepada pemerintah RI berdasarkan verifikasi Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) seluas 9,3 Juta Ha,” lanjut Rukka.

Rukka juga menjelaskan fakta di lapangan soal angka kriminalisasi yang dialami Masyarakat Adat sangat tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh AMAN, terdapat 121 konflik tenurial yang terjadi di wilayah adat dan 262 kasus warga Masyarakat Adat yang mengalami kriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya.

“Untuk itu negara harus hadir di tengah-tengah Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat yang kini kembali dibahas di DPR RI, harus dipastikan sebagai RUU yang siap menjembatani rekonsiliasi antara negara dengan Masyarakat Adat,“ tambah Rukka.

Deputi II PB AMAN Erasmus Cahyadi memberi tanggapan bahwa semangat RUU Masyarakat Adat versi DPR justru akan menghilangkan keberadaan Masyarakat Adat. Semangat “menghilangkan Masyarakat Adat” tercermin di dalam satu bab yang mengatur kewenangan Pemerintah RI untuk melakukan evaluasi terhadap Masyarakat Adat. Hal ini tidak sesuai dengan semangat pengakuan dan perlindungan konstitusi negara terhadap keberadaan Masyarakat Adat.

Erasmus menjelaskan, mestinya RUU Masyarakat Adat ini menyediakan mekanisme pengakuan Masyarakat Adat yang lebih sederhana, cepat dan berbiaya murah.

“AMAN telah mengusulkan mekanisme sederhana berupa pendaftaran Masyarakat Adat. Namun di dalam RUU Masyarakat Adat yang menempatkan Kementerian Dalam Negeri sebagai pihak yang berwenang menetapkan Masyarakat Adat melalui keputusan, justru membuat prosedur pengakuan Masyarakat Adat semakin lama dan sulit dijangkau,“ ujarnya.

Setelah mendengar fakta-fakta tersebut, Riyan Suminder menyatakan sepakat, Pemerintah RI untuk merevisi RUU Masyarakat Adat versi DPR. Karena itu, tindakan tercepat yang harus dilakukan adalah segera mengadakan rapat koordinasi antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah RI.

“Nanti di Rakor sampaikan semua informasi ini secara eksplisit, tanpa kiasan,” kata Riyan.

Meskipun sudah empat tahun berkuasa, Presiden Joko Widodo melalui Riyan Suminder, mengaku selama ini tidak mendapat informasi yang cukup terkait Masyarakat Adat. Rapat koordinasi RUU Masyarakat Adat nanti akan menjadi jawaban atas informasi yang berhenti di tingkat Kementerian tersebut.

Menutup pertemuan, Rukka menekankan Presiden Jokowi harus tahu apa yang ia janjikan untuk Masyarakat Adat, sampai hari ini belum terwujud.

Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadi inisiatif DPR RI. Pada rapat di Badan Legislatif (Baleg) April lalu, DPR telah menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). DPR RI kemudian menyusun draft RUU Masyarakat Adat versi DPR RI.

Jakob Siringoringo - INFOKOM PB AMAN

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta