Ia salah satu perwakilan Masyarakat Adat petani kopi yang hadir dalam pertemuan itu. Perjalanan satu malam dari Enrekang dia tempuh ke Makassar untuk menghadiri seminar bertajuk “Temu Usaha” tahun 2006. Pertemuan diadakan langsung oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan guna mempertemukan pelaku-pelaku usaha dan produsen kopi.

Di sana, Patola bertemu banyak pihak. Ia bersalaman dengan para pelaku usaha, berbincang, mencari titik temu kesepakatan. Namun tidak semua. Beberapa ada yang hanya berkenalan begitu saja dan berlalu. Sebagian ada yang mengajaknya ngobrol panjang ingin mengetahui lebih dalam tentang kopi Enrekang.

Dari sekian perkenalan basa-basi, ia akhirnya bertemu dengan seorang eksportir kopi. Mereka berjabat tangan satu sama lain, membuka percakapan singkat sebelum masuk ke inti pembicaraan. Si eksportir tertarik bekerja sama dengan Patola. Pembicaraan makin serius ketika si eksportir bilang bahwa mereka bekerja sama dengan Starbucks. Lantas untuk memasok kopi ke waralaba itu, mereka harus memastikan produk petani bersertifikasi.

[caption id="attachment_44502" align="alignnone" width="1024"] Patola / Dok: AMAN[/caption]

Itulah kali pertama Patola mendengar istilah sertifikasi. Sertifikasi merupakan satu tolak ukur standar mutu dan kelayakan kopi.

Masa sekarang produk bersertifikasi menjadi perhatian sebagian besar konsumen di pasar mainstream untuk memilih produk hasil kehutanan dan pertanian. Sertifikasi berperan sebagai penjamin bagi konsumen bahwa produk yang mereka beli merupakan produk yang dihasilkan dari proses yang baik dari hulu (tingkat petani) hingga hilir (pasar).

Di antara mereka terjalin kerja sama. Selama setahun, si eksportir memverifikasi kopi-kopi petani di Enrekang. Setelah semua syarat tergenapi, kopi-kopi dari Enrekang mulai dipasok ke Starbucks. Apa yang membuat Starbucks menerima pasokan adalah penjamin yang dinamakan sertifikasi kopi praktis. Sertifikasi ini adalah milik si eksportir. Sejak itu, sebanyak 400 nama petani kopi dari Enrekang telah terdaftar di Starbucks sebagai produsen yang dijamin sertifikasinya.

Biaya sertifikasi mahal

Kerja sama dengan Starbucks merupakan satu ruang bagi petani kopi Enrekang untuk menunjukkan bahwa kopi Masyarakat Adat adalah kopi bermutu. Bermutu tidak hanya dari sisi cita rasa, namun juga lewat pertimbangan tidak merusak tanah atau lingkungan, juga tidak menyebabkan ketidakadilan antar-sesama petani kopi.

Eksportir cukup berjasa menyambungkan peredaran kopi dari hulu ke hilir, dari petani ke cafe. Namun, penjaminan produk mereka yang disebut sertifikasi berada di tangan eksportir. Hal ini sangat berpengaruh pada kesempatan petani untuk bernegosiasi dalam hal harga atau membawa utuh hasil penjualan kopi mereka ke kampung halaman.

Antara pasar dengan produsen terhambat sistem penjaminan yaitu sertifikasi. Pasalnya untuk mengurus sertifikasi biayanya tak sedikit. Patola cerita seandainya petani sendiri yang mengurus sertifikasi, petani belum sanggup. Untuk mengurus sertifikasi, petani harus menyewa konsultan independen dengan membekali mereka seluruh pengeluaran mulai dari akomodasi, transportasi, kerja penelitiannya dan seterusnya yang berbiaya hingga ratusan juta rupiah.

Dengan kata lain, proses sertifikasi ini menjadi momok penghambat bagi sebagian petani karena selain prosesnya yang rumit dan panjang, juga memakan biaya yang besar serta sistemnya tidak partisipatif. Petani dituntut hanya mengikuti sistem yang berlaku.

Sistem penjaminan partisipatif

Patola adalah salah satu peserta dari komunitas adat Patongloan, Desa Benteng Alla Utara, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang. Petani macam Patola bisa dijadikan panutan, meskipun penampilannya terlihat sangat sederhana. Ia punya pengalaman panjang soal kopi. Belum lama ini ia terbang ke Jerman dan Belgia mempromosikan kopi Masyarakat Adat.

Selama lima hari (5-10 September 2019), ia mengikuti Workshop Implementasi Sistem Penjaminan Partisipatif di Nanggala, Toraja Utara. Kegiatan ini diselenggarakan konsorsium bersama antara Hivos, AMAN, WWF, NTFP-EP (Non Timber Forest Product-Exchange Program) dan ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil).

[caption id="attachment_44498" align="alignnone" width="1024"] Mia dari Hivos / Dok: AMAN[/caption]

Workshop merupakan bagian dari program SWITCH Asia 2: Local Harvest - Pangan Bijak Nusantara yang didukung Uni Eropa. Program Local Harvest yaitu program untuk mempromosikan konsumsi pangan lokal yang sehat, berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia. Jadi, merupakan inisiatif bersama guna mempromosikan produk-produk Masyarakat Adat dan komunitas lokal. AMAN mengusulkan kopi sebagai produk yang dipromosikan. Dua AMAN Daerah produsen kopi yang disasar yaitu Toraya dan Enrekang, Sulawesi Selatan.

Permintaan pasar mainstream senada dengan program Local Harvest. Sementara untuk memperoleh sertifikasi nyaris tidak terjangkau Patola dan petani kopi lainnya.

Kabar baiknya pada 2004, Participatory Guarantee System - PGS hadir untuk proses penjaminan alternatif dan menjawab masalah sertifikasi bagi petani. Dalam prosesnya PGS menekankan adanya partisipasi yang holistik meliputi konsumen, petani, LSM, instansi pemerintah, transparansi, keberlanjutan, perdagangan yang berkeadilan, kesetaraan dan ramah lingkungan.

Sistem PGS inilah yang dipilih konsorsium program Local Harvest sebagai penggaransi bagi konsumen bahwa produk yang dipasarkan merupakan produk yang berkelanjutan: lokal, sehat, adil dan lestari.

Patola cerita, masyarakat di luar negeri sebagai salah satu sasaran sudah mempertimbangkan aspek-aspek kesehatan, ekologi dan keadilan. Catatannya, orang yang memproduksi tidak merusak lingkungan, orang yang memproduksi justru memperbaiki lingkungan, orang yang memproduksi memperbaiki sosial dan ekonominya.

Karena itu, Sarjana Pertanian spesialis komoditi tanaman tahunan seperti kopi dan cengkeh itu sangat antusias mengikuti workshop. Menurutnya, sistem PGS akan sangat membantu Masyarakat Adat petani kopi.

Satu kelebihan sistem PGS selain sifatnya yang partisipatif dan biayanya lebih murah serta mudah dikerjakan yaitu adanya kebebasan bagi petani sendiri untuk menentukan kategori penilaiannya. Namanya partisipatif, semua anggota Masyarakat Adat petani kopi terlibat dan keputusan ada di tangan mereka, meskipun untuk langkah-langkahnya memerlukan pelatihan bersama.

Sistem penjaminan partisipatif ini menggaransi Patola dan Masyarakat Adat petani kopi lainnya perihal produk mereka seturut permintaan pasar. Dua posisi terpisah, hulu dan hilir, saling mendukung tanpa intervensi pihak ketiga di tengah jalan yang cenderung merugikan kedua belah pihak.

Keterhubungan tersebut tidak hanya soal urusan produsen dan konsumen. Kepala Desa Benteng Alla Utara, Kec. Baroko, Kab. Enrekang periode 2003-2013 bilang kalau koneksi keduanya juga bicara hal-hal substansial sesuai motto Local Harvest: lokal, sehat, adil dan lestari.

Ke-alami-an kopi Masyarakat Adat berkomposisikan unsur-unsur seperti organik, ramah lingkungan dan perawatan mengedepankan kearifan lokal hingga berkeadilan adalah penanda konkretnya.

[caption id="attachment_44503" align="alignnone" width="1024"] Memangkas batang kopi yang tidak produktif sebagai satu bentuk perawatan tanaman / Dok: AMAN[/caption]

Malahan bicara kopi tidak hanya soal cita rasa, aroma, atau pemeringkatan macam grade 1, grade 2, grade 3 dan seterusnya. Berbicara kopi juga berbicara edukasi, utamanya kepada pelanggan mulai dari masyarakat biasa hingga orang-orang kelas menengah dalam dan luar negeri. Lewat kopi, tambahnya, beredukasi misalnya berkaitan dengan isu perubahan iklim, konsumen mengonsumsi produk-produk Masyarakat Adat yang memang pakemnya adalah organik berbasiskan kultur atau kearifan lokal; tidak hanya merawat, namun juga memastikan ibu bumi terjaga kesehatannya.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta