Palu (23/11), www.aman.or.id - Perjalanan dari Kantor PW AMAN Sulteng menuju beberapa desa yang terdampak banjir bandang ditempuh kurang lebih dua jam. Adapun desa-desa yang dikunjungi adalah bagian dari Komunitas Adat Topoado.

Topoado adalah Masyarakat Adat yang mendiami beberapa desa di Kecamatan Dolo Selatan dan Gumbasa. Topoado sendiri adalah penamaan Suku Kaili sub etnis Ado. “To” berarti orang atau kelompok dan "Po" adalah keterangan bahwa pelaku adalah penutur bahasa tersebut.

Kami kerap harus berhenti di beberapa desa sekadar melihat suasana dan mendokumentasikannya. Terlihat lumpur di pinggir jalan yang dibawa banjir dari hulu sungai di Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.

Relawan pun berdatangan dari berbagai daerah untuk memberikan pertolongan. Ada yang membagikan makanan, ada pula sementara beristirahat di posko yang mereka dirikan. Daud, relawan AMAN Sulawesi Tengah, salah satu di antaranya.

Ia bermaksud mengambil data di desa terdampak, di antaranya: Desa Walatana dan Desa Bangga di Kecamatan Dolo Selatan dan Desa Pakuli di Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Merujuk data yang dihimpun tim Relawan AMAN Sulteng, kata Daud, korban di dusun 2, dusun yang terparah di Desa Bangga berjumlah 133 KK, 1.191 jiwa dengan kondisi rumah terendam banjir bandang.

“Dusun 2 parah sekali karena semua rumah terendam banjir,” ujarnya.

Sedangkan di Desa Pulu berjumlah 350 KK dan 1.272 jiwa dengan kondisi rumah rusak akibat Gempa. Selanjutnya Desa Walatana 120 Jiwa, 391 Jiwa.

Daud mengaku, ia memperoleh data-data tersebut langsung dari kepala-kepala dusun. “Rata-rata data itu saya ambil dari kepala dusun di setiap desa.”

Menurut Daud, ada satu dusun di Desa Walatana belum tersentuh dukungan/bantuan. Untuk ia lanjut ke Walatana guna mengambil data sebagai laporan ke Posko AMAN Sulteng. Pengambilan data dilakukan sebagai tahap awal sebelum menyalurkan bantuan. Hal ini dirancang sedemikian rupa sebagai satu “sistem” khusus mengawal dan melayani komunitas AMAN terdampak bencana gempa dan tsunami 28 September lalu.

Setelah mengambil data di Walatana, ia melanjutkan perjalanan ke Desa Bangga untuk mengambil titik koordinat menggunakan GPS. Kondisi di Bangga, pasir yang terbawa banjir masuk hingga ke dalam rumah-rumah warga. “Banyak sekali pasir, sampai menutup jalan.”

Usai mengambil titik koordinat di Bangga, Daud melanjutkan Perjalanan ke Desa Pakuli. Perjalanan menuju Pakuli, ditempuh kurang lebih 10 menit. Walaupun berbeda kecamatan, tetapi dua desa ini berbatasan.

Di jalur menuju Desa Pakuli, Daud harus menyeberang sungai. Ia membuka sepatunya. Namun sebelum menyeberang, masyarakat Desa Bangga yang berada di sekitar sungai itu menawarkan “jasa” gendong. Dengan halus dirinya menolak.

"Biar jalan saja,” katanya dalam bahasa setempat sambil tersenyum.

Sampai di Desa Pakuli, Daud singgah di sebuah kios untuk membeli sebungkus rokok kemudian menanyakan rumah kepala dusun.

“Di mana rumah kepala dusun?” tanya Daud kepada pemilik kios.

Pemilik kios menjawab dan mengarahkan telunjuknya ke rumah kepala dusun. “Rumah kepala dusun di sana. Masuk di lorong itu saja,” jelas pemilik kios.

Sampai di rumah tersebut, seorang perempuan tua yang lagi sibuk mencukur kelapa dengan alat tradisional disapa oleh Daud. Ia menanyakan keberadaan orang nomor satu di dusun tersebut.

“Mana kepala dusun?” Daud bertanya.

“Lagi keluar dia,” jawab perempuan tua.

Perempuan tua itu menambahkan dalam dialek setempat bahwa kepala dusun tidak ada di rumahnya. Dari dalam rumah, muncul anak kepala dusun, usianya diperkirakan belasan tahun. Ia mengatakan ayahnya tidak ada di rumah, mungkin di Masjid.

Akhirnya Daud memutuskan untuk beristirahat selama dua jam di salah satu rumah warga Desa Pakuli. Lolos dua jam, kembali ia mendatangi rumah kepala dusun dan mereka bertemu. Kifli, Kepala Dusun sudah berada di rumah. Mereka segera larut berbincang.

Desa Pakuli tidak terdampak banjir bandang. Meskipun demikian, Daud berkewajiban mengambil data, karena di sana juga ada rumah rusak akibat gempa. Pakuli memang tidak terdampak banjir bandang dari hulu sungai di Bangga, akan tetapi terancam Sungai Lakuta yang meluap dari pegunungan Pakuli.

Sungai ini terbilang unik karena tidak bermuara. Unik sekaligus misterius, sehingga membuat warga tetap waspada.

Dari perbincangan keduanya, Kepala Dusun 1, Desa Pakuli, Kifli menyebutkan secara keseluruhan populasi ada 714 KK dan 2650 Jiwa. Sementara kerusakan mencapai 147 rumah rusak. Mengakhiri pembicaraan, Kifli berterima kasih karena sudah mengambil data.

Usai pendataan, Daud pulang menuju posko AMAN Sulteng di Kota Palu.

(Arman Seli)

Writer : Arman Seli | Sulawesi Tengah