Jakarta (7/1/2019), www.aman.or.id - Setiap Masyarakat Adat pasti memiliki kearifan lokalnya atau dapat disebut sebagai pengetahuan Masyarakat Adat (indigenous knowledge). Bangkok Post memberi pemaknaan terhadap kearifan lokal (local wisdom) dalam bahasa Inggris dengan “local wisdom (noun) - the knowledge that has been discovered or acquired by local people through long experience”. Pada dasarnya kearifan lokal itu merupakan pengetahuan Masyarakat Adat secara turun-temurun yang telah teruji berdasarkan pengalaman panjang.

Sama seperti di Aur Kuning, Kec. Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau. Masyarakat Adat Kenegerian Aur Kuning memiliki kearifan lokal yang menjadi adat dan pandandan hidup mereka sehari-hari. Salah satu kearifan lokal mereka yakni adanya lesung batu.

Lesung batu ini berada di Sungai Biawik yang bermuara di Sungai Subayang. Lesung batu menyimpan cerita dan tradisi turun-temurun dan masih dijalankan hingga saat ini.

Sebagaimana namanya, lesung tersebut terbuat dari batu. Leluhur Masyarakat Adat Aur Kuning memahat batu tersebut sedemikian rupa hingga tercipta suatu lesung. Hebatnya, pahat yang diyakini menjadi alat pembuat lesung itu masih ada dan disimpan sampai sekarang.

Lesung ini diletakkan di pinggir sungai persis di kaki air terjun setinggi dua meter di Sungai Biawik. Lesung juga diposisikan mendapat aliran air terjun sehingga otomatis terisi air.

Lokasi ini juga merupakan tempat warga menangkap ikan. Tidak persis dekat dengan pemukiman. Untuk mencapai lokasi sekitar lesung, warga memerlukan waktu setengah jam naik “robin” dalam penyebutan setempat (sampan bermotor) atau jalan kaki satu jam.

Sejak dahulu kala, beragam spesies ikan sudah ada di Sungai Biawik. Ikan-ikan tersebut terdapat di sepanjang sungai dari hulu hingga hilir. Ikan-ikan terus berkembang biak. Sebagaimana tinggal di sungai, di tengah arus, ikan-ikan tentu bergerak hilir mudik. Namun, anak-anak ikan menjadi persoalan ketika terbawa arus.

Saat terbawa arus dan melewati air terjun tadi, sejak saat itu anak-anak ikan terancam tidak bisa kembali ke hulu. Selain faktor arus sungai yang deras, paling sulit dielakkan adalah penangkap ikan. Menjadi soal adalah bagaimana mengendalikan orang yang ingin berburu ikan.

Untuk itulah, leluhur Masyarakat Adat Aur Kuning mengambil inisiatif untuk menyelamatkan anak-anak ikan yang melewati air terjun. Di sinilah mereka memikirkan lesung sebagai jalan keluarnya.

Saat lesung sudah dipenuhi anakan ikan, Masyarakat Adat Aur Kuning membawa ikan-ikan tersebut kembali ke hulu. Ini dilakukan seturut musim ikan bertelur yakni sekali setahun.

Penyelamatan ikan ini berangkat dari pertimbangan leluhur yang tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tapi juga memikirkan bagaimana anak cucunya kelak bisa menikmati ikan sungai untuk keberlanjutan hidup keturunannya.

Pemindahan anak-anak ikan ke hulu sungai juga bermakna agar kehidupan masyrakat bisa bertahan dan juga membantu kesediaan makanan meraka dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya, masyarakat tidak dilarang untuk mengambil ikan yang masih kecil, tapi mereka harus mengambil sesuai kebutuhannya. Kalau masyarakat mengambil berlebihan akan dikenakan sanksi yang telah dibuat oleh tetua adat dan masyarakat sesuai kesepakatan bersama.

Sungai ini juga merupakan tempat acara adat Masyarakat Adat Aur Kuning yang dilakukan sekali setahun, yaitu acara penyemahan lubuk lesung batu dengan memasukkan kepala kerbau ke dalam lubuk lesung tersebut.

Hal ini sebagai isyarat untuk mengingat sejarah dan perjuangan leluhur dalam melestarikan ikan dan sungai secara umum. Sebelum memasukkannya, kami terlebih dahulu berdoa bersama dan sholawat nabi sebagai ucapan terima kasih pada sang pencipta yang telah menciptakan alam semesta dan segala isinya.

Intinya, Sungai Biawik adalah sumber kehidupan bagi Masyarakat Adat Aur kuning. Selain ikan, masyarakat juga bisa memanfaatkan hasil hutan dan hasil sungai yang masih utuh dan alami.

Jadi siapa pun harus bisa mengendalikan keserakaan manusia yang hanya memikirkan kesenangan sesaat tanpa menghiraukan yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

Salam anak muda Kenegerian Aur Kuning “diak wik tan”!

Andre Andika, magang di PB AMAN

Writer : Andre Andika | Jakarta