Jakarta (11/9/2019), www.aman.or.id - Perhelatan besar seperti peringatan 20 Tahun AMAN/Hari Masyarakat Adat Sedunia juga sekaligus jadi momen bertemu kembali para pejuang, perintis, dan tokoh masyarakat adat dari berbagai belahan Nusantara. Salah seorang tokoh istimewa yang hadir dalam acara di Taman Ismail Marzuki adalah inong Ompu Sarma Boru Sibarani dari AMAN Tano Batak.

Inong ini sudah menjadi semacam legenda di AMAN. Ia simbol perjuangan perempuan masyarakat adat, jauh sebelum AMAN resmi berdiri. Tahun 1988, inong ini, ketika itu masih bernama Nai Sinta, bersama sembilan ibu dari Desa Sugapa, Kec. Silaen, Toba Samosir, nekad melawan PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang menanami ekaliptus di tanah adat warisan Raja Sidomdom Baringbing, di ladang Parbarungan.

Indorayon mengklaim ladang Parbarungan itu sebagai konsesi mereka dengan membayar uang “pago-pago” kepada beberapa orang pengkhianat tanah ulayat. Tanpa kenal takut, Nai Sinta memimpin temannya ibu-ibu mencabuti tanaman ekaliptus yang ditanami Indorayon, hingga mereka ditangkap dan dipidanakan perusahaan. Putusan pengadilan memutuskan mereka dijatuhi hukuman percobaan enam bulan.

“Kami sengaja. Kalau suami kami yang maju, pasti mereka ditangkap dan dipenjarakan. Kami tidak mau,” ujar Ompu Sarma mengenang peristiwa itu.

Tapi Nai Sinta, yang berperawakan kecil, dan teman-temannya tidak mau menyerah. Mereka mengajukan banding, tapi kasasi Mahkamah Agung menolak permohonan mereka. Namun perjuangan mereka tidak berhenti. Sepuluh orang inang ini nekad pergi ke Jakarta, dengan berhutang untuk biaya. Mereka membawa anak-anaknya menemui Menteri Dalam Negeri.

Berhari-hari mereka duduk di lobi kantor Kementerian Dalam Negeri. Pada momen-momen tertentu Nai Sarma mangandung, hingga Menteri Dalam Negeri Rudini tersentuh hatinya dan bersedia menerima mereka. Rudini kemudian membantu biaya mereka pulang dan membekali mereka surat, agar Bupati dan Indorayon menyerahkan kembali tanah mereka.

Sejak itu, Indorayon yang kemudian berganti nama menjati Toba Pulp Lestasi (TPL) tidak pernah lagi mengganggu tanah adat mereka, dan hengkang dari Sugapa. Keberhasilan itu membuat kalangan perjuangan masyarakat adat menganggap Nai Sarma dan teman-temannya sebagai simbol perjuangan. Nai Sarma diundang dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, di Hotel Indonesia, Jakarta, yang kemudian melahirkan AMAN.

Inong Ompu Sarma kini berusia 85 tahun. Tubuhnya sudah merenta. Pendengarannya pun sudah mulai terganggu. Tapi semangatnya masih berapi bila diminta menceritakan perjuangan mereka dulu. Tapi, ia menyadari harinya sudah senja. “Saya sudah tidak punya tenaga lagi. Kami sekarang tinggal empat orang yang masih hidup,” ujarnya lirih.

Iya, tubuhnya sudah merenta. Tapi semangat perlawanan, keberanian Nai Sinta dan teman-temannya akan tetap dikenang. Jadi spirit perjuangan masyarakat adat.

Nestor Tambun

Writer : Nestor Tambun | Jakarta