Jakarta (21/8), www.aman.or.id - Indonesia harus memikirkan kembali dialog lintas kebudayaan. Prinsip Bhinneka yang kita sepakati sejak awal pendirian republik harus segera dilakukan kembali, harus segera dikuatkan. Dalam empat dekade terakhir, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami keterputusan dari model dialog yang mengedepankan keberagaman. Padahal Indonesia adalah rumahnya keberagaman.

Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi. Menurut Sombolinggi, di masa Soeharto orang Indonesia tidak dibolehkan untuk membicarakan perbedaan. Hal-hal terkait perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) cenderung digunakan untuk memastikan bahwa setiap orang hidup dalam “cangkang” masing-masing. Sehingga akhirnya tidak terbiasa dengan perbedaan yang lantas berdampak lebih jauh terhadap sudut pandang kita sebagai bangsa.

"Di masa Soeharto, kita tidak dibolehkan untuk membicarakan perbedaan. Sehingga akhirnya kita hidup dalam 'cangkang' masing-masing," tegas Sombolinggi.

Gagasan ini mengemuka saat AMAN bersama koalisi masyarakat sipil mengadakan konferensi pers di kantor Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Kwitang, Tanah Abang, Jakarta, pada Selasa (20/8) kemarin. Koalisi masyarakat sipil ini sendiri terdiri dari 26 organisasi masyarakat sipil yang bergerak di berbagai isu seperti masyarakat adat, lingkungan, advokasi perempuan dan lembaga bantuan hukum. Konferensi pers koalisi ini merupakan respon sekaligus pernyataan solidaritas bersama untuk menghentikan rasisme, diskriminasi dan kekerasan yang menimpa rakyat Papua.

Baca juga: Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Terkait Pengepungan dan Penyerangan Mahasiswa Papua di Surabaya

Seperti ramai diberitakan di berbagai media massa, sehari sebelum perayaan HUT ke-74 RI, mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang mengalami kekerasan verbal dengan disebut sebagai monyet yang dibarengi dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Aksi rasisme dan tindak kekerasan ini dipicu oleh provokasi yang berdasarkan prasangka terkait pelecehan terhadap simbol bendera Merah Putih.

Bendera yang berada di depan asrama pelajar Papua tersebut ditemukan jatuh ke dalam selokan setelah tiang penyangganya patah. Meski alasan di balik patahnya tiang bendera dan tidak jelasnya siapa pelaku aksi tersebut, namun hal tersebut tidak menghentikan munculnya aksi tindakan rasalisme dan persekusi terhadap para mahasiswa Papua.

Ujaran rasisme yang dilakukan oleh oknum militer dan anggota organisasi masyarakat (ormas) dan Polisi Pamong Praja (Pol PP) yang dipungkasi dengan tindak kekerasan fisik berupa penyerbuan ke dalam asrama oleh pihak kepolisian tersebut menyulut protes massal di berbagai kota di provinsi Papua Barat dan provinsi Papua. Ribuan orang masyarakat Papua menggelar aksi demonstrasi di beberapa kota utama di dua provinsi ini seperti Manokwari, Sorong dan Fakfak di Papua Barat, serta Jayapura dan Merauke yang berada di Papua.

[caption id="attachment_44425" align="alignnone" width="1024"] Pernyataan solidaritas bersama “hentikan rasisme, diskriminasi dan kekerasan pada rakyat Papua” koalisi masyarakat sipil di KontraS[/caption]

Mobilisasi massa sebagai respon atas tindak kekerasan dan rasialisme yang menimpa para pelajar Papua di Surabaya dan Malang, kemudian ikut menjadi pusat pemberitaan berbagai media nasional. Sayangnya, berbagai pemberitaan tersebut cenderung bias karena dengan sengaja tidak melihat keterkaitan erat antara represi dan aksi rasial yang dimulai di kota-kota di pulau Jawa sebagai pemicu awal.

Oleh karena itu, dalam kesempatan konferensi pers tersebut, AMAN menyerukan agar penegak hukum menyoroti asal mula ledakan protes rakyat Papua yang dimulai di Surabaya dan Malang. AMAN juga menuntut agar dalang di balik aksi rasial dan tindak represi di kedua kota tersebut segera dapat diusut. AMAN juga menyoroti bagaimana tindak rasial yang dilakukan para oknum tentara dengan menyebut para pelajar Papua sebagai monyet.

“Tidak pantas seorang manusia menyebut manusia lain sebagai monyet,” tegas Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.

Mewakili AMAN, Sombolinggi menyerukan agar tentara dan polisi yang ikut terlibat dalam aksi rasial dan tindak kekerasan di Surabaya dan Malang harus mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Menurut AMAN, tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan justru menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk bertanggungjawab memastikan keamanan bagi setiap warga negaranya.

Menurut Sombolinggi, Indonesia sedang mengalami kemunduran besar sebagai sebuah bangsa. Berkembangnya pandangan dan tindakan rasialisme merupakan salah satu buktinya. AMAN juga menilai bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelalaian negara yang membiarkan tumbuhnya bibit-bibit rasisme.

"Kita banyak mendengar stigma tentang Papua bahwa mereka bodoh, mereka tidak pantas, mereka terbelakang, tidak berpendidikan, kasar, jorok. Itu adalah stigma rasis yang dilekatkan pada orang Papua dan jawabannya kemudian adalah karena terbelakang, mereka harus dibangun. Harus ada pembangunan yang massif di Papua," kata Sombolinggi.

Dalam pandangan AMAN, pembangunan yang dilakukan di Papua didasarkan pada cara pandang rasialis yang melihat orang Papua sebagai pihak yang inferior. Hal tersebut melandasi berbagai argumentasi rasis lain seperti pandangan yang menilai bahwa sumber daya manusia orang Papua yang belum memadai dan tidak cukup pintar sehingga membutuhkan uluran tangan para pendatang (migran).

"Akibatnya dapat terlihat jelas melalui perampasan wilayah-wilayah adat melalui konsesi perusahaan, ijin pertambangan mineral dan gas yang dilakukan tanpa berkonsultasi dengan pemilik hal ulayat dan penyingkiran ekonomi yang menimpa Orang Asli Papua," tutup Sombolinggi.

Khaeruddin dan Jakob Siringoringo

Writer : Khaeruddin dan Jakob Siringoringo | Jakarta