Jember (20/11/2019), www.aman.or.id – Hingga kini masih terdapat banyak pelanggaran terhadap hak asasi Masyarakat Adat dalam berbagai bentuk, salah satunya tidak dapat mengikuti Pemilu maupun Pilkada karena keberadaan mereka belum diakui dan terdata secara administrasi negara. Karena itu kehadiran UU tentang Masyarakat Adat sangat penting untuk menjamin hak asasi mereka.

Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi mengatakan, saat ini ada 18 sampai 20 juta Masyarakat Adat di seluruh Nusantara yang menjadi bagian dari komunitas-komunitas adat anggota AMAN. Dari jumlah tersebut, sepertiga di antaranya memiliki hak pilih, namun kurang dari 30 persen yang dapat menggunakan hak pilih dalam Pemilu maupun Pilkada.

“Mereka tidak bisa menggunakan hak pilih karena tidak memiliki KTP. Artinya mereka belum dianggap sebagai warga negara yang sah,” tegas Eras.

Permasalahan mengenai pemenuhan pengakuan dan perlindungan Hak Masyarakat Adat tersebut dibahas dalam Seminar Nasional “Konstekstualisasi Pengakuan dan Pelindungan Hak Masyarakat Adat di Indonesia” sebagai bagian dari rangkaian Festival HAM 2019 di Jember, Jawa Timur.

[caption id="attachment_44675" align="alignnone" width="1024"] "Seminar Nasional: "Kontekstualisasi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat" dalam Festival HAM bertempat di Kantor Bupati Jember (Rabu, 20/11/2019) / Dok: AMAN[/caption]

Seminar tersebut menghadirkan para pembicara mulai dari unsur pemerintah hingga ormas: Bupati Mentawai dan Jayapura serta Kasubdit Hutan Adat KLHK, Komnas HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Dr. Herlambang Perdana Wiratman dari Universitas Airlangga sebagai akademisi. Seminar ini dihadiri oleh 150 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa mandegnya penetapan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat di periode 2014-2019 yang lalu karena Presiden Joko Widodo tidak pernah mengirim Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) ke DPR.

“Pembahasan lebih lanjut hanya dimungkinkan jika pihak Pemerintah menyediakan DIM, yang merupakan kewajiban dan syarat utama,” ujarnya, kemudian menegaskan soal tidak sinergisnya niat politik (political will) Presiden Jokowi dan implementasi di level kementerian.

“Presiden telah menerbitkan SUPRES terkait hal tersebut, namun tidak ditindaklanjuti oleh kementerian-kementerian terkait. Bagi kami, hal ini jelas menunjukkan bahwa para menteri melakukan pembangkangan politik terhadap keputusan presiden,” tambah Rukka.

Akibatnya Masyarakat Adat masih terus mengalami kriminalisasi ketika mereka berladang, bertani, berkebun atau beraktivitas yang berkaitan dengan mata pencaharian di wilayah adatnya.

Eras mengatakan, Masyarakat Adat masih mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan yang disebabkan karena peraturan perundang-undangan membuka ruang yang luas pada investasi, sementara ruang pengakuan dan perlindungan trehadap Masyarakat Adat harus melalui jalan berliku.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Sandra Moniaga menambahkan, Inkuiri Nasional yang dilaksanakan Komnas HAM pada 2014 telah membuktikan bahwa terdapat banyak pelanggaran hukum dan hak asasi Masyarakat Adat melalui berbagai proyek pembangunan maupun peruntukan kawasan hutan di Indonesia.

“Komnas HAM merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI serius mengurus Masyarakat Adat dan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai bagian dari melaksanakan mandat konstitusi.” tambah Sandra.

Implementasi pengakuan di tingkat daerah

Amos Soumilena mewakili Bupati Jayapura mengatakan, implementasi perlindungan hak Masyarakat Adat dapat berjalan dengan cepat dan ideal di Jayapura karena tingginya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pemenuhan hak asasi yang sering melahirkan inisiatif-inisiatif dalam proses pembentukan perangkat hukum daerah.

“Pemerintah Kabupaten Jayapura telah menggagas pembentukan Gugus Tugas Masyarakat Adat untuk mempercepat kerja pemetaan wilayah-wilayah adat dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi adat serta pengakuan dan perlindungan hak adat di tingkat kampung,” katanya.

Dari Mentawai, Kortanius Sabeleake, Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai mengatakan sebagai upaya melindungi hak asasi Masyarakat Adat maka Pemerintah Kabupaten Mentawai telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

“Perda tersebut mengatur tentang keberadaan panitia penetapan dan pengakuan Uma sebagai kesatuan Masyarakat Adat di Mentawai. Komunitas-komunitas Masyarakat Adat juga aktif berpartisipasi dengan menyusun pemetaan wilayah adat,” tuturnya.

Pengakuan Masyarakat Adat sebetulnya sudah dimulai sejak Indonesia berdiri. Pengakuan dan perlindungan Hak Masyarakat Adat diatur dalam UUD Pasal 18B ayat 2. Namun, UUD tersebut perlu penjabaran pelaksanaannya dalam UU beserta instrumen-instrumen kelengkapan hukumnya.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta