Jakarta, www.aman.or.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat gagal disahkan karena ketidakseriusan pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut selama dua periode terakhir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan hingga kini Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tidak pernah melihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah untuk RUU tersebut. Padahal pada rapat kerja yang dilaksanakan antara Badan Legislatif (Baleg) DPR dan Pemerintah pada 19 Juli 2019 telah disepakati bahwa pembahasan mengenai RUU tentang Masyarakat Adat sampai tiga kali masa persidangan. Namun hingga akhir periode DPR 2014-2019 RUU ini gagal disahkan menjadi undang-undang. AMAN menyampaikan hal tersebut dalam Konferensi Pers “Menjelang 100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; Bagaimana Nasib Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat?” yang digelar di Ke:Kini - Ruang Bersama, Cikini, Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (9/12). Hadir sebagai pembicara yaitu Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi; Rahma Mary dari YLBHI; Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Maria Soemardjono; dan Anggota DPR Fraksi Nasdem Sulaeman L. Hamzah salah satu anggota pengusul RUU Masyarakat Adat. Hingga kini RUU tentang Masyarakat Adat terkatung-katung. Aturan itu tak juga naik jadi UU meski telah digodok selama dua periode pemerintahan, era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono hingga Joko Widodo-Jusuf Kalla. RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR RI pada 2013, 2014, dan Prolegnas Prioritas 2019. Kehadiran UU Masyarakat Adat sangat penting untuk masyarakat dan pemerintah. UU tersebut akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan hak masyarakat adat, serta untuk menjawab berbagai tantangan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat gagal ditetapkan dengan berbagai argumentasi dari pemerintah. Rukka Sombolinggi mengatakan keberadaan UU Masyarakat Adat merupakan hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat. “Memang benar bahwa saat ini telah banyak peraturan perundangan-perundangan yang mengatur keberadaan masyarakat adat, tetapi keberadaan peraturan perundang-undangan yang sektoral tersebut justru mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya yang diatur di dalam konstitusi,” kata Rukka. Menurut Rahma Mary, peraturan Perundang-undangan terkait Masyarakat Adat yang sudah ada sekarang posisinya tumpang tindih dan saling menyandera, belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Menurut Sulaeman L. Hamzah, Partai NasDem berkomitmen untuk terus mengawal dan memperjuangkan terbentuknya UU Masyarakat Hukum Adat sesegera mungkin, hal tersebut tercemin pada Daftar Judul Rancangan Undang-Undang Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang diusulkan oleh Fraksi Partai NasDem dimana RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam daftar dengan nomor urut 2. “Partai NasDem juga akan terus mengawal dan memperjuangkan proses legislasi RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah ditetapkan sebagai RUU yang masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020 dengan nomor urut 33 berdasarkan Rapat Pengambilan Keputusan atas hasil Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 Badan Legislasi yang dilaksanakan pada tanggal 05 Desember 2019 untuk dapat segera dibahas. Pada program legsilasi nasional tahun 2020, fraksi Nasdem bersama fraksi PKB dan PDIP sebagai pengusul dari RUU Masyarakat Adat ” tambah Sulaeman. Prof. Maria Soemardjono berpendapat bahwa pengakuan masyarakat adat bukan syarat untuk menentukan eksistensi masyarakat adat beserta ulayatnya. Pengakuan Negara terhadap kesatuan masyarakat adat itu bersifat declaratoir. Artinya, menyatakan sesuatu yang sudah ada. Upaya untuk menuntaskan pengakuan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif masyarakat adat sendiri dan/ atau inisiatif Pemda. Untuk memastikan tentang subjek hak ulayat, ditempuh proses sosio-anthropologis yang berujung pada penetapan yang bersifat yuridis. Deklarasi tentang masyarakat adat tertentu (subjek hak ulayat) dan objek hak ulayat (seluruh wilayah masyarakat adat disertai dengan letak, luas, dan batas-batasnya) dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah yang dilampiri dengan peta wilayah masyarakat adat. Proses ini berlaku terhadap hak ulayat yang beraspek publik sekaligus privat. Kepastian hukum terkait keberadaan objek hak ulayat dalam suatu wilayah masyarakat adat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batas serta mencatanya dalam daftar tanah. “Dengan kata lain, tidak diterbitkan sertifikat di atas hak ulayat yang kewenangannya beraspek publik sekaligus privat. Juga terhadap hak ulayat yang kewenangannya beraspek privat semata, tidak diperlukan suatu penetapan. Penuntasan administrasi pengakuannya dalam bentuk sertifikat tanah (milik) bersama.” kata Maria. Sejak lebih dari 20 tahun lalu masyarakat adat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bekerja dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat adat telah melayangkan tuntutan yang dilakukan secara sporadis agar negara segera melakukan langkah-langkah pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pelindungan, Penghormatan dan Pemenuhan merupakan prinsip HAM yang kewajiban untuk melaksanakannya diletakkan pada negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang” jelas tertulis bahwa Negara secara konstitusi mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak tradisional yang melekat.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta