Budi Baskoro Infokom PD AMAN Kotawaringin Barat

“Sebuah bangsa tidak ditaklukkan sampai hati para perempuannya jatuh ke tanah. Tidak peduli seberapa berani prajuritnya atau seberapa kuat senjatanya.” Petikan peribahasa orang Cheyene, itu disampaikan Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), untuk menggambarkan betapa pentingnya peran perempuan adat, dalam diskusi online bertemakan "Perempuan Adat dan Hak-hak atas Wilayah Adat dan Kekayaan Alamnya di Tanah Papua", Rabu 29 Juli 2020. Dalam diskusi yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Fokker LSM Papua, Econusa Foundation, dan World Resource Institute (WRI) Indonesia, itu Rukka menyebutkan, peran penting Perempuan Adat itu, misalnya, bisa dilihat pada kemampuan mereka dalam menyediakan obat-obatan ramuan tradisional, kriya dan seni seperti tenun dan anyaman, juga konservasi lingkungan hidup. “Di mana Perempuan Adat kuat, pasti ekosistem akan terjaga dengan baik. Perempuan sebagai penjaga bumi. Penjaga pengetahuan,” ucap perempuan adat asal Toraja, Sulawesi Selatan ini. Peran penting perempuan adat, juga dapat dilihat, misalnya, dalam menjaga keberlangsungan pengetahuan lokal, keberlanjutan bahasa, dan kepemimpinan, meski diakui tak sebanyak peran kaum lelaki. Perempuan Adat bahkan tampil menonjol dalam mempertahankan wilayah adatnya kala bersengketa dengan proyek investasi atau pembangunan. “Dari pengalaman Seko, (yang) menyebut dirinya kelompok Srikandi, mereka menjaga kampung, anak-anak, orang tua, menjaga kebun, menjaga sawah, ketika laki-laki mereka waktu itu kebanyakan lari. Ini perempuan yang berperan. Bahkan mereka yang terus-menerus berkemah, camping di areal eksplorasi,” beber Rukka.

Masih Ada Diskriminasi

Namun, Rukka mengingatkan, perempuan adat juga masih ada yang mengalami diskriminasi. “Sebagai perempuan di dalam keluarga, di dalam komunitas, tidak bisa dipungkiri banyak sekali praktik-praktik tradisi yang melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka tidak punya akses terhadap proses pengambilan keputusan.” Akar diskriminasi terjadi karena adanya kekerasan struktural. Di tingkat internal komunitas, lanjut Rukka, peminggiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan di kampung tercermin dari kalimat-kalimat umum seperti, ‘perempuan di dapur saja’ atau ‘perempuan kasih sedia makanan saja’ dst. “Tetapi akar kekerasan terbesar ternyata adalah kebijakan pembangunan yang merampas wilayah adat. Itu secara langsung mencerabut perempuan adat dari ruang kehidupan yang sekaligus menjadi ruang kuasa mereka,” ujar Rukka. Ia menambahkan, dampak kekerasan dan diskriminasi, membuat perempuan adat minim akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Bahkan menyitir studi United Nation Special Rapporteur untuk Masyarakat Adat, Rukka menyebut globalisasi, menyebabkan tingkat kemiskinan Perempuan Adat lebih tinggi dibanding dengan perempuan lain. Studi yang sama menyebut, globalisasi berdampak pada meningkatnya kekerasan domestik pada perempuan adat, kekerasan seksual dalam konteks perdagangan perempuan, dan konflik bersenjata. “Di Papua, misalnya, ada banyak sekali kekerasan terhadap perempuan karena mereka dituduh sebagai organisasi pengganggu keamanan atau apa sekarang istilahnya tentara itu, istilahnya orang Indonesia. Tapi banyak sekali kasus-kasus ini yang tidak disuarakan,” ucapnya. Globalisasi juga disebut Rukka membuat ekonomi uang mengubah struktur sosial, yang berujung pada peminggiran Perempuan Adat. “Mereka menjadi buruh dengan upah yang rendah, harus meninggalkan keluarga di kampung untuk bisa mencari uang. Atau ketika suami ke luar kampung, maka harus tinggal menjadi orangtua tunggal.” “Peran dalam komunitas hilang dengan hilangnya wilayah adat. Jadi, hilang ruang hidupnya, hilang perannya, hilang posisi politiknya. Ini lingkaran setan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat karena berbagai kekerasan dan diskriminasi yang berlapis itu tadi,” tegas Rukka. Jadi bagaimana melindungi perempuan adat di Indoensia? “Bagaimana melindungi Perempuan Adat, Undang-undang Masyarakat Adat-nya saja belum ada. Dan bahkan draf yang ada saat ini masih sangat bermasalah,” ucap Rukka. Belum hadirnya undang-undang Masyarakat Adat, membuat kebijakan yang ada saat ini, makin meminggirkan perempuan. “Misalnya untuk kuota perempuan. Afirmative actions itu sama sekali tidak menjangkau Perempuan Adat. Tidak spesifik untuk Perempuan Adat. Bahkan cenderung memperlebar kesenjangan Perempuan Adat dan perempuan lainnya.” Untuk mengubah kondisi Masyarakat Adat itu, ada beberapa hal yang menurutnya harus dilakukan. Pertama, jangan dipakai lagi istilah-istilah penyederhanaan peran Perempuan Adat karena itu dapat melanggengkan diskriminasi dan kekerasan. Kemudian, Rukka juga menyebut agar jangan ada glorifikasi peran perempuan adat. “Jangan menyebut perempuan paling mulia, tapi dipukuli tiap hari.” Ia berharap aspirasi Perempuan Adat terus didengar dan memastikan perempuan adat terlibat penuh dalam pengambilan keputusan di musyawarah adat. “Terus mendiskusikan hak-hak perempuan adat dan memastikan semua pihak melakukan perubahan secara bersama-sama,” usul Rukka. Terakhir, Rukka menegaskan Hak Perempuan Adat tak terpisahkan dari hak kolektif masyarakat adat. “Maka undang-undang masyarakat adat yang (akan) disahkan itu harus memastikan perlindungan terhadap perempuan adat. Harus ada pasal-pasal yang mewajibkan masyarakat adat untuk melindungi perempuan adatnya atau mengubah tradisi dan budaya kekerasan terhadap masyarakat adat.”

Writer : Budi Baskoro | Kalimantan Tengah