Jamal Bobero Staff Infokom PW AMAN Maluku Utara

Mempertanyakan kembali keabsahan tentang keberagaman sebagai identitas bangsa Indonesia menjadi perlu dan sangat mendesak. Pluralitas suku-bangsa yang membentuk tubuh indonesia itu, seringkali menuai sakit, terutama yang diderita oleh masyarakat adat di seluruh Nusantara terkait dengan eksistensi komunitas. Banyak aspek dapat menjadi dalil akan problem tersebut. Benarkah Indonesia itu adalah negara dengan suku bangsa yang beragam? Keberagaman mana yang kita maksud dan ketahui? Rahung Nasution, pengelana yang menyebut dirinya sebagai koki gadungan itu, dikenal dengan kekayaan pengetahuannya di bidang kuliner Nusantara, memberi jawaban dengan gugatan pada kegiatan Bincang Santai #1 dengan topik “Kuliner Nusantara dan Kedaulatan Wilayah Adat”, yang diselengarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rabu (5/8/2020). Satu aspek dari sisi keberagaman dapat dilihat dari tradisi kuliner yang ada di setiap daerah. Coki, sapaan akrab Rahung, sanksi dengan keberagaman pada aspek kuliner. “Kalau makanan kita dibilang beragam, ya, bisa saja. Tapi dalam kenyataan, kita ketahui gak si soal keberagaman itu?” tanya Coki. "Imajinasi kita tentang keberagaman kuliner itu miskin. Akhirnya ya mentok di nasi goreng atau pecel lele." Tradisi kuliner Indonesia memang beragam seiring dengan keberagaman suku-bangsa. Tapi semenjak program transmigrasi pada pemerintahan Soeharto, yang diseratakan dengan kebijakan beras-isasi di wilayah Timur Indonesia misalnya, itu, telah menggeser pola konsumsi dan juga melahirkan ketergantungan pada pangan baru yang tidak berasal dari wilayah sekitar masyarakat dan juga rentan dengan perubahan iklim dan tidak ramah lingkungan. “Padahal masyarakat adat itu eksis dari hak ulayat. Dan keberagaman kuliner yang kita bilang sebagai modal identitas kita itu adalah hal tak terpisahkan dengan wilayah adat,” terang Coki. Masalah lain yang mengancam kedaulatan pangan lokal adalah kebijakan pembangunan pada sektor perkebunan skala besar dan investasi pertambangan. Minimnya pegakuan atas tanah ulayat dari setiap komunitas adat, mempercepat hilangnya tradisi kuliner yang beriringan dengan pengalihan fungsi lahan. Padahal, kekayaan kuliner itu berasal dari lingkungan di mana komunitas atau suku-bangsa itu hidup. “Kondisi geografis memengaruhi mata pencarian dan tentu saja kuliner. Ketika orang sudah tidak punya mata pencarian, apa yang terjadi kemudian dengan sumber-sumber pangan yang lain? Saat orang-orang sudah mulai bekerja di kota? Ya jelas hilangnya bibit-bibit lokal. Kemudian yang lebih dasar lagi kehilangan tradisi kulinernya, bahkan sumber-sumber bumbunya, yang terjadi juga akan kehilangan haknya. Semuanya saling terkait,” ungkap Rahung saat diskusi. Di samping perampasan ruang hidup dan alih fungsi lahan yang menghilangkan tradisi kuliner karena hilangnya hak ulayat, aspek lain yang menjadikan kita miskin imajinasi kuliner dan dangkalnya pengetahuan tentang kekayaan kuliner di Nusantara adalah tidak adanya sarana/media pendidikan yang secara khusus mengajarkan dan mempelajari aneka macam makanan lokal yang ada. "Makanan-makanan lokal yang ada di Masyarakat Adat atau komunitas itu kan tersembunyi. Bagi saya itu misterius. Kita ngak tahu. Dan untuk mengetahui itu, kita harus datang langsung ke Masyarakat Adatnya. Padahal kuliner adalah bagian dari corak identitas ke-Indonesia-an yang perlu juga ditanamkan nilai-nilai dan dikenalkan cita rasanya. Berbeda dengan sub-budaya lain yang memiliki dan menyediakan sarana pendidikan untuk belajar mengenai kuliner mereka dari aspek sejarah, teknik pembuatan dan masih banyak lagi. Coba lihat Prancis atau Italia misalnya. Kuliner dianggap warisan kebudayaan. Makanya diseriusi," papar Rahung. Diskusi yang berjalan kurang lebih enam puluh menit via siaran langsung (live) Instragram di akun @rumah.aman itu, pembicaraan Rahung Nasution benar-benar menggugah kesadaran. Apa benar kita memiliki kekayaan kuliner yang disebut sebagai Kuliner Nusantara? Sementara orang-orang masih banyak yang tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran akan keberadaan suatu makanan, dan nihil kurikulum yang membawa pengetahuan tentang makanan khas daerah dalam pembelajaran. Serta diiringi dengan kebijakan pembangunan pemerintah yang perlahan menyingkirkan dan menjauhkan masyarakat dari tanah ulayatnya yang mendukung sumber pangan mereka.

Writer : Jamal Bobero | Maluku Utara