Sekjen AMAN: Situasi Masyarakat Adat Sedang Kritis karena Tak Ada UU Masyarakat Adat
15 Maret 2024 Berita Della AzzahraOleh Della Azzahra
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menyatakan situasi Masyarakat Adat saat ini sedang dalam kondisi kritis menyusul kegagalan Presiden dan DPR RI memenuhi mandat konstitusi untuk melindungi dan memajukan hak-hak Masyarakat Adat. Atas kegagalan ini, AMAN dan komunitas Masyarakat Adat telah mengajukan gugatan kepada Presiden dan DPR RI karena tidak melaksanakan mandat konstitusi.
Rukka menjelaskan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat secara turun-temurun sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun, hingga saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Sebaliknya, berbagai undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah justru melegitimasi perampasan wilayah adat dan kekayaan yang berada di dalamnya. Akibatnya, Masyarakat Adat kehilangan wilayah adatnya.
“Saat ini, kita berhadap-hadapan dengan seperangkat undang-undang dan kebijakan yang dibuat untuk memberikan karpet merah bagi perusahaan untuk merampas wilayah adat kita. Ini kerugian besar buat Masyarakat Adat,” kata Rukka Sombolinggi dalam konferensi pers bertajuk: Terusir dari Tanah Leluhur, Potret Kusam Masyarakat Adat Akibat Ketiadaan Undang-Undang, di Rumah AMAN Tebet, Jakarta Selatan, pada Jum’at (15/3/2024).
Rukka menngungkap berdasarkan catatan AMAN, dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perampasan 8,5 juta hektar wilayah adat dan 678 orang Masyarakat Adat mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Situasi ini membuat posisi Masyarakat Adat semakin sulit dan tertekan. Karenanya, AMAN bersama delapan orang utusan komunitas Masyarakat Adat berjuang mengajukan gugatan ke PTUN.
Terusir Dari Tanah Leluhur
Dalam sidang lanjutan gugatan terhadap Presiden dan DPR RI di PTUN Jakarta, pada Kamis, 14 Maret 2024, AMAN mengajukan enam orang saksi. Dengan berderai air mata penuh kekecewaan, para saksi menceritakan bagaimana mereka dikriminalisasi dan dirampas wilayah adatnya.
Saksi Hermina Mawa, perempuan adat dari komunitas Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo Nusa Tenggara Timur (NTT), menceritakan bagaimana tanah adatnya dirampas secara paksa karena alasan Proyek Strategis Nasional berupa pembangunan waduk. Tidak hanya itu, perempuan paruh baya yang biasa disapa Mama Mince ini juga mengalami tindakan represif dari aparat bersenjata karena mencoba untuk mempertahankan wilayah adatnya.
“Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa ada pembicaraan. Perampasan ini menodai martabat kami sebagai perempuan. Mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami,” ujar Mama Mince dengan nada sedih di persidangan.
Sama seperti Mama Mince, saksi fakta lain yaitu Effendy Buhing yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat Laman Kinipan Lamandau, Kalimantan Tengah menceritakan bagaimana wilayah adatnya dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit.
“Banyak sudah penderitaan yang kami alami akibat adanya perkebunan sawit yang menjanjikan kesejahteraan, tapi munculnya kesengsaraan,” katanya.
Effendy juga mengaku pernah ditangkap secara paksa oleh aparat kepolisian dengan mengerahkan personil secara berlebihan. Effendy ditangkap atas dasar laporan dari perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Tak pelak, Effendy lantas menjadi target penangkapan.
“Penangkapan itu terjadi di tahun 2020. Pertama, yang ditangkap empat orang. Setelah itu, giliran saya dengan tuduhan pencurian, pengancaman dan sebagainya,” terang Effendy sembari menegaskan penangkapan dirinya menyalahi prosedur.
Effendy mengatakan maraknya terjadi perampasan wilayah dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat akibat tidak adanya undang-undang yang secara khusus menjadi payung hukum bagi Masyarakat Adat. Menurutnya, selama RUU Masyarakat Adat tidak disahkan DPR, hampir tidak mungkin Masyarakat Adat mendapat keadilan dan mendapat jawaban dari persoalan yang terjadi selama ini. Effendy berharap Presiden Joko Widodo dan DPR segera mensahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Tolong segera sahkan RUU Masyarakat Adat. Ini sangat penting supaya tidak ada kerisauan di Masyarakat Adat,” pungkasnya.
***
Penulis adalah volunteer di Infokom PB AMAN