Tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan : Simbol Kasih Sayang Perempuan di Lombok Timur
06 Januari 2024 Berita Pauzan AzimaOleh Pauzan Azima
Sebuah tradisi unik melibatkan perempuan sebagai simbol utama masih lestari di desa Pringgasela Selatan, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini dikenal dengan nama Nyiru Jaja Bjangkongan, sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh perempuan-perempuan suku Sasak di desa Pringgasela Selatan.
Nyiru Jaja Bjangkongan berasal dari bahasa Sasak dialek desa Pringgasela Selatan. Nyiru berarti sebuah wadah atau nampan yang terbuat dari anyaman bambu, Jaja itu maknanya makanan atau sumber energi, sedangkan Bjangkongan mengandung arti banyak atau bergandengan atau saling tumpuk menumpuk sehingga nampak seperti gunung.
Ketua Pemuda Pringgasela Selatan, Muh.Imam Andriansyah menyatakan secara umum makna dari Nyiru Jaja Bjangkongan adalah tradisi khusus perempuan Pringgasela Selatan yang dikaitkan dengan wadah atau nampan yang berisi makanan atau sumber pangan yang disusun secara tumpuk menumpuk.
Imam Andriansyah menjelaskan peran perempuan di tradisi ini sebagai pengantar wadah ke suami yang sedang bekerja di sawah atau sedang mencari nafkah untuk keluarganya.
“Simbolisasi perempuan dalam tradisi ini memiliki makna filosofis tentang kasih sayang dan cinta, yang dijelaskan lewat cara makanan disajikan di atas wadah yang bernama Nyiru dan cara si perempuan mengantar makanan ke suaminya yang sedang bekerja,” papar Imam Andriansyah saat ditemui dikediamannya di desa Pringgasela Selatan belum lama ini.
Imam menambahkan Nyiru atau wadah tempat menyajikan makanan yang dibawa oleh perempuan tersebut terbuat dari bambu. Simbol ini menandakan perempuan dekat dengan alam, bahkan bagian dari alam.
“Alam kaya dengan sifat kasih sayangnya terhadap manusia, begitu juga dengan sifat perempuan,” ungkapnya.
Imam menerangkan selain itu, Jaja atau makanan yang dibuat tumpuk menumpuk hingga meninggi melambangkan bagaimana perempuan menghormati dan mencintai suami atau laki-laki yang dicintai dalam bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya.
Dalam pemaparannya lebih lanjut, Imam mengatakan bahwa Nyiru ini diantar dengan jalan kaki dan diletakkan di atas kepala. Sepanjang jalan sampai tujuan. Posisi Nyiru tidak diubah-ubah. Hal ini menyimbolkan bagaimana perempuan merawat cinta dan rumah tangganya.
“Nyiru yang dibawa dengan meletakkan di atas kepala menandakan betapa besar cintanya terhadap keluarganya,” imbuhnya.
Imam menjelaskan biasanya tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan ini diadakan menjelang panen raya ataupun gawe desa.
Baru-baru ini, tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan diparadekan saat Festival Dongdala 3 di desa Pringgasela Selatan pada 20 Desember 2023.
Tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan
Cinta Perempuan Miliki Derajat Tinggi
Budayawan Lalu Malik Hidayat asal Lombok Timur menerangkan tradisi Nyiru Jaja Bjangkonan berasal dari kebiasaan perempuan di desa Pringgasela Selatan dan hal ini telah menjadi bagian penting dari karakteristik religius Masyarakat Adat Pringgasela. Kebiasaan ini tidak hanya sekadar rutinitas sehari-hari, tetapi juga mencerminkan prinsip dan kepercayaan dalam karakteristik religius desa Pringgasela.
"Dalam karakteristik religius desa Pringgasela, masyarakat percaya bahwa cinta perempuan memiliki derajat yang sangat tinggi," terangnya.
Lalu Malik menuturkan cinta perempuan ini dianggap sebagai kekuatan yang kuat dan suci, yang dapat menghubungkan dan mempererat hubungan antara suami dan istri. Untuk mengabadikan simbol cinta itu, sebutnya, tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan pun dilakukan.
Lalu Malik menyatakan dalam tradisi ini, perempuan desa Pringgasela akan merangkai Jaja atau wadah dengan menggunakan bahan-bahan tradisional. Kemudian, menyajikannya dengan penuh kasih sayang kepada suami mereka.
“Rangkaian jaja ini melambangkan cinta yang tulus dan pengorbanan yang diberikan oleh perempuan kepada keluarga mereka,” ujarnya.
Menurut Lalu Malik, tradisi Nyiru Jaja Bjangkongan tidak hanya menjadi simbol cinta perempuan di desa Pringgasela, tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya yang dijaga dan dilestarikan oleh generasi setelahnya.
“Tradisi ini mengajarkan kita tentang nilai-nilai penting tentang cinta, pengorbanan, dan kebersamaan dalam keluarga,” tandasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat