Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA
26 Agustus 2021 Siaran Pers Infokom AMANAMAN, WALHI, dan KPA Kritik Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Pandemi yang Tak Efektif, Tak Adil, dan Abai Pada Rakyat Kecil
Jakarta, 16 Juli 2021
AMAN-WALHI-KPA mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI dalam menangani pandemi Covid-19. Surat ini meminta kepada Presiden dan DPR agar memperhatikan prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan memperhitungkan secara matang dampak dari berbagai kebijakan pandemi Covid-19. Ketiga organisasi ini menyoroti kebijakan PPKM dan beberapa kebijakan lainnya tidak efektif, tidak adil dan abai pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat kecil. Sedangkan di sisi lain, Negara membiarkan laju industri ektraktif dalam kategori Obyek Vital Nasional dan Proyek Strategis Nasional terus berlangsung. Negara seperti sengaja melupakan bahwa virus ini masuk dalam kategori penyakit zoonosis. Virus dari mikro-parasit yang berpindah inang kepada manusia karena kerusakan lingkungan.
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menyebut penanganan pandemi yang dilakukan sejauh ini belum terintegrasi dan belum menyeluruh sehingga telah membawa kehidupan masyarakat pada situasi yang penuh ketidapastian dan selalu dibayangi ancaman infeksi covid-19. Kebijakan yang demikian telah menyebabkan wilayah-wilayah masyarakat adat yang selama setahun terakhir berusaha kami jaga dan lindungi dengan pembatasan keluar-masuk orang pada akhirnya tidak mampu lagi menahan penyebaran covid-19, dan telah mengakibatkan jatuhnya korban.
“Kebijakan Pemerintah seringkali ambigu. Di satu sisi melaukan pembatasan namun di sisi lain membuka mobilitas manusia antar-daerah maupun antar-negara. Hal itu ditambah pula dengan tidak meratanya akses pada testing, ketidakseriusan dalam pelacakan, serta proses vaksinasi yang belum merata dan belum menjangkau ruang-ruang hidup petani, nelayan, dan masyarakat adat secara luas. Semua itu telah mengakibatkan risiko penularan yang tinggi dan semakin meluas serta memberikan tekanan yang besar terhadap fasilitas layanan kesehatan. Selama ini, program vaksinasi lebih banyak dilakukan secara terpusat, sehingga tidak jarang menimbulkan kerumunan dan memperbesar risiko penyebaran Covid-19. Pemerintah perlu mempercepat, memperluas, dan memperbaiki proses testing dan vaksinasi agar menjangkau mereka. Pemerintah juga perlu memperkuat sosialisasi serta menertibkan informasi yang tidak bertanggung jawab mengenai asal-usul vaksin, efikasi, maupun dampaknya, sehingga
kepercayaan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi, meningkat,” tegas Rukka.
Kebijakan PPKM mungkin merupakan salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 yang terus meningkat. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menambahkan kebijakan PPKM ditetapkan secara sembrono dan tidak memperhatikan dampak krusial terhadap masyarakat kecil. Kebutuhan pokok, seperti pangan, lonjakan kebutuhan medis hingga tarif tes layanan tes medis Covid-19 yang harganya sulit dijangkau oleh kelompok ekonomi menengah dan bawah. Kondisi ini menjadi bukti, Pemerintah tidak mempersiapkan kebijakan ini secara matang. DPR pun sama, tidak menjalankan tugas pengawasannya untuk mengingatkan Pemerintah.
“Kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam situasi PPKM atau karantina wilayah merupakan tanggung jawab Pemerintah. Hal ini ditentukan secara tegas dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan hak atas pangan, layanan kesehatan dan hidup yang layak tanpa situasi pandemi pun tetap menjadi kewajiban konstitusional negara. Untuk itu, negara, baik Pemerintah dan DPR harus segera mengambil kebijakan dan tindakan untuk memenuhi hak-hak dasar tersebut kepada setiap orang. Selanjutnya, negara juga harus menghentikan seluruh aktivitas ekstraktif skala besar. Hal ini berguna untuk memutus potensi timbulnya varian penyakit zoonosis lainnya. Ancaman yang akan memperparah krisis,” tambah Nur Hidayati.
AMAN-WALHI-KPA juga menyoroti upaya komersialisasi layanan tes yang semakin hari memperlihatkan wajah komersialnya. Pada saat seperti ini, Negara harusnya melakukan layanan tes massif yang menjangkau ruang-ruang hidup petani, nelayan, dan masyarakat adat yang menjadi korban karena praktik kebijakan karantina dan pembatasan yang tidak pernah serius. Akses dan layanan tes bebas pungutan biaya harus menyentuh petani, nelayan, masyarakat adat, serta masyarakat marjinal lainnya. Praktik komersialisasi swab antigen, PCR hingga vaksin harus dihentikan.
Di tengah krisis akibat pandemi, Pemerintah dan DPR tidak menghentikan korporasi yang semakin agresif merampas ruang hidup petani, nelayan, dan masyarakat adat. Dalam banyak kasus, apparat negara seringkali justeru tampak melakukan kekerasan terhadap petani, nelayan, dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak. Dewi Kartika, Sekjen KPA mengemukakan, “situasi tersebut telah menyebabkan petani, nelayan, dan Masyarakat Adat merasa semakin terancam. Konflik dan kekerasan terus terjadi. Masyarakat tidak lagi merasa aman dan nyaman dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”
“Konflik dan kekerasan yang terus terjadi merupakan bukti Negara tidak menempatkan rakyat dan isu kerakyatan sebagai persoalan pokok dalam menghadapi krisis ini. Ketika rakyat dibatasi ruang hidup dan penghidupannya, korporasi malah dibiarkan terus menguras sumber-sumber agraria. Dalil objek vital nasional dan proyek strategis nasional menjadi kedok untuk meminggirkan rakyat ditengah penetapan PPKM. Di kota-kota, kelompok masyarakat kecil yang terpaksa harus beraktivitas agar kehidupan dapat terus berjalan cukup banyak yang menjadi korban dari upaya penagakan hukum yang dilakukan negara. Apakah mereka yang kecil harus dipaksa berdiam diri di ruman, tanpa bantuan dan insentif? Sementara sumber kehidupan mereka dibatas kebijakan PPKM, sebut Dewi.
Lebih lanjut Dewi mengemukakan bahwa di tengah perekonomian nasional yang tampak stagnan dan penerapan PSBB, perampasan tanah berskala besar tidak menurun dengan cara-cara yang semakin tak terkendali dengan adanya 241 konflik agraria yang tersebar di 359 kampung/desa dan melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. Dewi mengemukakan
bahwa aktivitas-aktivitas perusahaan di berbagai sektor, seperti pertambangan, perkebunan, kehutananan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan proyek-proyek infrastruktur di atas ruang ruang hidup Masyarakat Adat dan petani, tidak berkurang sama sekali. Hal tersebut menyebabkan Masyarakat Adat dan petani mengalami kesulitan untuk menjaga keselamatan diri di tengah pandemi. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil keputusan yang tegas disertai dengan pemberian sanksi agar perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan merampas ruang-ruang hidup Masyarakat Adat, petani, dan nelayan, segera menghentikan aktivitasnya. Selanjutnya, anggaran terutama proyek-proyek infrastruktur pemerintah perlu dialihkan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesehatan rakyat di tengah pandemi.
AMAN-WALHI-KPA memandang Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa penting untuk melakukan realokasi dan refocusing anggaran untuk memastikan layanan kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat dapat dipenuhi. Tentu, kebijakan ini harus dilimplementasikan secara trasnparan dan lepas dari praktik korupsi. Tidak hanya itu, negara juga harus berhenti dengan narasi penyelamatan ekonomi makro / pertumbuhan ekonomi. Menyelamatkan rakyat jauh lebih penting dibanding menyelamatkan ekonomi kapitalistik. Kebijakan penanganan pandemi harus dilakukan secara matang dengan memperhatikan basis ilmu pengetahuan dan keberpihakan pada rakyat.
AMAN, WALHI, dan KPA menyatakan penting sekali bagi pemerintah untuk secara serius mendengarkan ahli kesehatan yang kompeten dalam penanganan pandemi dan mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan hanya memikirkan keberlangsungan bisnis pengusaha skala besar yang selama ini sudah mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan dari negara. Tidak akan ada ekonomi yang berkelanjutan di tengah berlarutnya pandemi dan kualitas kesehatan masyarakat yang rendah.
***