Oleh Moh. Fadal

Memperingati Hari Tani, Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda) Sulteng menghentikan kriminalisasi terhadap petani.

Hal itu disampaikan dengan tegas oleh Eva Bande selaku Koordinator FRAS Sulteng melalui rilis pers pada Jumat lalu (24/9/2021) di Sekretariat FRAS Sulteng di Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur, Sulteng.

Dalam rilis pers tersebut, Eva mengungkapkan bahwa Sulteng menjadi salah satu daerah yang memiliki eskalasi konflik agraria yang kian meningkat. Itu merupakan bagian dari konsekuensi masuknya industri pertambangan maupun perkebunan sawit yang turut mengakibatan konflik-konflik di berbagai desa.

Belum lama ini, petani asal Batui Banggai datang menghadap Gubernur Sulteng untuk meminta perlindungan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kepolisian Resor (Polres) Banggai terhadap beberapa petani di Batui. 

           Eva Bande. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

"Ada juga masyarakat asal Petasia Timur yang ditahan Polres Morowali Utara setelah dilaporkan oleh PT Agro Nusa Abadi,” ungkap Eva. “Hari ini, terdapat petani asal Kabupaten Buol yang ditahan di Polres Buol karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation."

Lebih lanjut menurut Eva, sejak pengangkatan Kapolda Sulteng yang baru, penetapan tersangka dan penangkapan-penangkapan terhadap petani justru semakin meningkat. 

"Mengapa Kapolda Sulteng mengabaikan surat telegram dari Kapolri (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia) yang secara esensial menjelaskan bahwa penyelesaian kasus konflik agraria di Indonesia, harus diselesaikan dengan cara-cara mediasi yang damai?" tanya Eva.

Eva mengatakan, pihak FRAS Sulteng yang tergabung dari beberapa organisasi masyarakat sipil, menyerukan dan menyatakan sikap secara tegas mengutuk cara-cara represi, intimidasi, serta kriminalisasi terhadap petani.

"Hentikan perampasan lahan petani dan pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani,” ungkapnya penuh semangat dalam menyambut Perayaan Hari Tani di Indonesia. “Kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dalam hal ini adalah Gubernur Sulawesi Tengah, kami juga menyerukan agar segera membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang independen di Sulawesi Tengah."

Pada 24 September 2021, kaum petani di berbagai daerah di Indonesia pun memilih untuk turun ke jalan melakukan aksi protes atas kehidupan petani yang kian hari makin terhimpit oleh keberadaan perusahaan-perusahaan skala besar yang menguasai mayoritas lahan di Tanah Air.

"Yang kita ketahui, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UU PA) merupakan bentuk formal regulasi yang mempunyai semangat redistribusi lahan dari penguasaan lahan oleh tuan-tuan tanah," terang Eva.

Namun, dalam praktiknya, Undang-Undang tersebut takluk di hadapan para perusahaan-perusahaan skala besar. Wujud nyata dari krisis agraria di Indonesia, adalah tidak dijalankannya reforma agraria yang merupakan mandat dari konstitusi, tepatnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR No. IX/2001, dan UU PA. Hal tersebut membawa Indonesia berada dalam jurang krisis agraria yang sangat kronis.

Penguasaan tanah di Indonesia telah terjadi secara timpang oleh segelintir elit. Menurut data, sekitar 68 persen tanah dikuasai oleh hanya satu persen penduduk. Sementara itu, terdapat 16,2 juta petani yang hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. 

Eva menambahkan bahwa dari tahun ke tahun terjadi perubahan secara besar-besaran konversi tanah hingga 650 ribu tanah pertanian setiap tahunnya yang terkonversi menjadi kawasan industri, infrastruktur, dan kawasan bisnis.

Konflik agraria pun meledak dari tahun 2015 hingga 2020 akibat akumulasi perampasan tanah baru dengan konflik-konflik agraria lama yang tidak kunjung diselesaikan. Para pejuang agraria di Indonesia juga menghadapi kerawanan situasi, mulai dari intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi dalam memperjuangkan hak atas tanah. 

"Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2015 hingga 2020, terjadi 2.288 ledakan konflik agraria yang mengakibatkan 1.437 orang dikriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak, dan 66 tewas di wilayah konflik agraria," ungkap Eva Bande.

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Sulteng.

Writer : Moh. Fadal | Sulawesi Tengah