PPMAN Minta Kementerian ATR/BPN Selesaikan Konflik Agraria yang Merugikan Masy. Adat di Flores
13 Desember 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menyelesaikan konflik agraria yang merugikan komunitas Masyarakat Adat di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Permintaan itu disampaikan oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra Anton Yohanis Bala bersama Staf Bidang Pemantauan dan Dokumentasi Seknas PPMAN Surti Handayani saat menemui Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni di ruang kerjanya pada Selasa, 6 Desember 2022.
Anton Yohanis Bala menyatakan bahwa konflik agraria yang terjadi di Flores, tidak hanya melibatkan perusahaan sebagai pelaku, tapi juga institusi negara melalui kebijakannya, mulai dari penetapan kawasan hutan lindung, pertambangan, sampai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Ia menyebut ada puluhan konflik agraria yang terjadi saat ini di wilayah adat di Flores.
“PPMAN minta semua konflik agraria yang merugikan Masyarakat Adat di Flores, segera diselesaikan,” katanya kepada Wakil Menteri ATR/BPN.
Anton menyebutkan bahwa konflik agraria yang amat merugikan Masyarakat Adat di sana, termasuk kasus penyelesaian tanah eks HGU antara PT Renha Rosari Keuskupan Larantuka dan Masyarakat Adat Suku Tukan di Flores Timur serta PT Kristus Raja Keuskupan Maumere dan Masyarakat Adat Tana Ai suku Soge dan Goban di Sikka. Ia menerangkan kalau hingga kini, kasus tersebut masih menemui jalan buntu.
Dalam pemaparannya, Anton mengatakan kepada Raja Juli Antoni bahwa pemegang HGU adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik.
“Beliau (Raja Juli) sempat tersentak saat diberi tahu pemegang HGU itu adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik. Ada kesan kaget dan heran,” katanya.
Anton menjelaskan bahwa sudah pernah ada dialog untuk menyelesaikan kasus konflik agraria itu. Bahkan, pernah terbit dua kali Surat Keputusan (SK) Bupati Sikka tahun 2016 dan 2020 sebagai landasan hukum. Tapi, itu tetap tidak pernah tuntas dijalankan oleh pemerintah.
Anton menduga ada semacam kongkalikong atau permainan antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan aparat Kementerian ATR/BPN di level provinsi dan kabupaten untuk memuluskan kepentingan perusahaan milik gereja Katolik dengan menabrak ketentuan hukum yang ada.
“Inilah inti dari maksud kedatangan PPMAN menemui Wakil Menteri ATR/BPN. Kami berharap Wakil Menteri ATR/BPN dapat melakukan pemantauan dan pengawasan atas proses pembaruan HGU agar tidak sewenang-wenang, menabrak aturan hukum, dan merugikan Masyarakat Adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Raja Juli Antoni menyayangkan terjadinya konflik agraria yang melibatkan pihak gereja Katolik ini. Raja menanyakan apakah Masyarakat Adat punya sejarah penguasaan dan sudah berapa lama menempati lokasi tanah eks HGU tersebut.
Menjawab itu, Anton mengatakan, Masyarakat Adat sudah lama menempati tanah eks HGU. Ia juga menegaskan kalau Masyarakat Adat memiliki sejarah asal-usul yang jelas untuk memiliki tanah eks HGU tersebut. Karenanya, sebut Anton, mereka siap untuk kembali ke meja dialog untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria tersebut.
Raja Juli pun meminta Masyarakat Adat untuk membuat laporan dan kronologi kasus agar bisa lebih konkret diawasi dan diselesaikan.
“Saya ingin konflik agraria ini cepat selesai,” katanya.
***