Rakernas AMAN VII Hasilkan Resolusi "Rejang Lebong"
19 Maret 2023 Berita Sepriandi dan Apriadi GunawanOleh Sepriandi dan Apriadi Gunawan
Setelah melalui persidangan selama dua hari, akhirnya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN VII berhasil melahirkan “Resolusi Rejang Lebong” yang berisi 23 butir pernyataan sikap Masyarakat Adat.
Resolusi ini disahkan jelang penutupan Rakernas AMAN VII di Wilayah Adat Kutei Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu pada Minggu (19/3/2023).
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan resolusi ini merupakan aspirasi dari komunitas adat di kampung-kampung yang disampaikan melalui Rapat Kerja Nasional.
"Resolusi ini merupakan aspirasi dari seluruh pengurus AMAN di daerah,” kata Rukka usai penutupan Rakernas AMAN VII.
Rukka mengatakan resolusi ini miliki arti penting bagi masa depan Masyarakat Adat. Karenanya, resolusi ini harus dikawal meski ada beberapa point yang sudah berulang disampaikan oleh AMAN.
"(Resolusi) ini ada beberapa point yang memang sudah berulang. Namun, tetap harus kita pertegas dan kita simpulkan pada Rakernas kali ini,” tandasnya.
Berdasarkan hasil Rakernas AMAN VII yang diikuti oleh seluruh pengurus AMAN dari region Sumatera hingga Papua, mulai dari Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Besar AMAN beserta Organisasi Sayap, Badan Otonom dan peninjau dari berbagai institusi pemerintah serta organisasi non-pemerintah, dengan ini kami menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.
2. Kami mendesak DPR RI untuk menolak pengesahan PERPU Nomor 02 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU karena bertentangan dengan UUD 1945. PERPPU Cipta Kerja akan menjadi basis legal dalam tindakan-tindakan perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, serta berdampak pada hilangnya hak-hak Masyarakat Adat dan rusaknya lingkungan hidup yang akan mengancam keberlangsungan kehidupan bangsa.
3. Kami mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang bermasalah di dalam KUHP Nomor 1 Tahun 2023 khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan living law yang merampas kedaulatan Masyarakat Adat untuk menyelenggarakan sistem peradilan sendiri.
4. Kami mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membatalkan Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 3 tahun 2020 yang memberikan keleluasaan kepada negara bersama oligarki untuk merampas dan merusak wilayah adat, serta semakin banyak mengkriminalisasi Masyarakat Adat.
5. Kami mendesak Pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, karena menjadi instrument perampasan tanah Petani dan Masyarakat Adat.
6. Kami mendesak Pemerintah Daerah untuk segera membentuk kebijakan daerah tentang perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat termasuk hak atas wilayah adatnya. Bagi daerah, provinsi/kabupaten/kota, yang sudah mengesahkan produk hukum Masyarakat Adat (Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan Peraturan-Peraturan Bupati/Wali Kota maupun Peraturan Gubernur) kami mendesak untuk segera diimplementasikan.
7. Kami mendesak PEMERINTAH untuk mencabut dan tidak memperpanjang seluruh kebijakan yang bersifat memudahkan bagi investasi dengan mengabaikan Hak-Hak Masyarakat Adat, misalnya pemberian HGU, izin pertambangan dan kehutanan di Wilayah-Wilayah Adat, khususnya di IKN dan program-program strategis nasional lainnya. semua izin investasi pertambangan, energi, perkebunan, hutan tanaman industri, hak pengelolaan hutan, pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan ijin usaha lainnya yang mengabaikan Hak Asasi Manusia dan merampas hak-hak Masyarakat Adat, serta merusak lingkungan hidup. Untuk selanjutnya mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kegiatan perampasan serta pengrusakan Wilayah Adat yang berdampak buruk pada Masyarakat Adat.
8. Mendesak pemerintah untuk mencabut surat keputusan Menteri ESDM RI tentang penetapan pulau Flores sebagai pulau Geotermal/panas bumi. Karena keputusan ini berpotensi mengakibatkan perampasan wilayah adat dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
9. Mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk eksploitasi dan materialisasi dengan cara-cara yang tidak adil dan diskriminatif terhadap sumber penghidupan, nilai dan budaya Masyarakat Adat untuk kepentingan pariwisata premium milik para oligarki.
10. Terkait IKN, kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan penggusuran dan relokasi Masyarakat Adat suku Balik, menghentikan penggusuran situs-situs bersejarah dan memulihkan kerusakan yang telah terjadi serta memastikan perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Adat Suku Balik.
11. Mendesak Pemerintah untuk mencabut semua skema Perhutanan Sosial yang terbit di atas Wilayah Adat kecuali skema Hutan Adat, dan menghentikan seluruh proses skema Perhutanan Sosial yang sedang berlangsung di atas Wilayah Adat. Dan kami menyerukan kepada donor dan NGO untuk tidak mendukung dan mempromosikan perhutanan sosial selain Hutan Adat.
12. Kami kembali mendesak Pemerintah harus segera mempercepat proses pengembalian HUTAN ADAT sesuai Putusan MK 35/PUU-X/2012.
13. Kami menolak tegas penguasaan negara secara sepihak atas karbon di wilayah adat. Selanjutnya mendesak Pemerintah untuk mencabut dan mentertibkan perusahaan-perusahaan karbon yang beroperasi di wilayah adat.
14. Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan inisiatif global terkait pendanaan langsung bagi Masyarakat Adat benar-benar diakses langsung oleh komunitas dan organisasi Masyarakat Adat.
15. Mendesak pemerintah untuk segera menghentikan seluruh aktivitas penetapan tata batas Kawasan hutan karena telah menimbulkan keresahan Masyarakat Adat diseluruh nusantara. Selanjutnya membuka dokumen berita acara tata batas Kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sebagai dokumen public sesuai dengan Keputusan MK Nomor 45 Tahun 2011.
16. Kami mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mengakomodir hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam proses pembentukan RUU KSDAHE dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan konservasi.
17. Kami menegaskan bahwa Masyarakat Adat berbeda dengan kerajaan/kesultanan. Oleh sebab itu, terkait RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara, kami mendesak DPD dan DPR RI untuk tidak mencampuradukkan identitas Kerajaan/Kesultanan dengan Masyarakat Adat yang RUU-nya sedang dibahas di DPR RI, agar sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
18. Pemerintah harus menjamin, melindungi dan mendukung upaya-upaya Masyarakat Adat dalam mengelola wilayah adatnya, mengambil langkah-langkah progressif untuk mengakui dan mempromosikan praktek dan pengembangan model ekonomi Masyarakat Adat yang bersifat lokal dan berkelanjutan, yang selama ini telah terbukti memastikan kemandirian komunitas komunitas adat menuju pencapaian kedaulatan pangan, baik di tingkat komunitas, maupun secara nasional.
19. Kami mendesak Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) untuk mengakomodir 2,5 juta Masyarakat Adat yang belum terdaftar sebagai pemilih karena dianggap menduduki kawasan hutan dan wilayah pertambangan. Kami mendesak pemerintah untuk menghadirkan kebijakan yang memudahkan Masyarakat Adat untuk berpartisipasi secara penuh dan efektifdalam Pemilu dan Pilkada 2024.
20. Terkait Pemilu 2024, kami mendesak seluruh Partai Politik dan para Calon Presiden/Wakil Presiden serta Calon Kepala Daerah untuk memprioritaskan agenda perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
21. Kembali mendesak Presiden untuk segera membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat yang bertugas membangun sistem penyelesaian konflik, merumuskan dan melaksanakan pemulihan (remedy) kepada Masyarakat Adat yang telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan menyusun kajian mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Masyarakat Adat serta berimplikasi pada pemenuhan hak-haknya.
22. Kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan upaya-upaya pembungkaman karna berdampak pada kemunduran demokrasi dan Hak Azasi Manusia di Indonesia.
23. Kembali kami mendesak pemerintah untuk meminta maaf kepada Masyarakat Adat karena telah melakukan pelanggaran dan membiarkan perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan pengabaian hak-hak Masyarakat Adat selama berpuluh-puluh tahun.
***
Penulis Sepriandi adalah Jurnalis Masyarakat Adat Bengkulu