Masyarakat Adat Masih Termarginalisasi
11 Agustus 2023 Berita Apriadi GunawanOleh : Apriadi Gunawan
Masyarakat Adat masih termarginalisasi di wilayah adatnya karena pengakuan dan perlindungan wilayah adat masih jauh dari harapan Masyarakat Adat.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota.
Kepala BRWA Kasmita Widodo mencatat dari 1.336 total wilayah adat yang teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar atau sekitar 13,9 persen.
“Masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah adat saat ini yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah,” kata Kasmita Widodo dalam acara konferensi pers secara online pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), Rabu (9/8/2023).
Sementara, sebut Kasmita, luas total hutan adat yang sudah mendapat pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebanyak 123 hutan adat dengan luas 221.648 hektar, termasuk 15 hutan adat seluas 68.326 hektar di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Diakui Kasmita bahwa keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK memang tidak mudah, karena harus diawali dengan pengukuhan keberadaan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021.
“Pengukuhan keberadaan Masyarakat Adat dalam kawasan hutan negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Disinilah sengkarutnya proses pengembalian hutan adat dari hutan negara,” ungkapnya.
Komitmen Pemerintah
Menurut Kasmita, komitmen Kepala Daerah dan kapasitas Pemerintah Daerah masih rendah untuk membentuk Perda pengakuan Masyarakat Adat. Setelah ada Perda pun, katanya, pelaksanaan verifikasi sampai dengan pengukuhan Masyarakat Adat masih berjalan sangat lambat. Begitu juga dengan KLHK yang masih terbatas dalam melakukan verifikasi usulan hutan adat.
“Rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat setahun yang dapat diverifikasi lapangan,” terangnya.
Kasmita menambahkan selain itu, masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional.
Terkait sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat Masyarakat Adat, Kasmita menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN belum ada kemajuan yang berarti. Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat Masyarakat Adat, justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) diatas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021.
“Hal ini menunjukkan bahwa negara masih menterjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Padahal, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat,” ujarnya.
Dikatakannya, kebijakan negara menerbitkan HPL diatas Wilayah Adat justru berpotensi menyebabkan hilangnya hak Masyarakat Adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun. Sekaligus, menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak Masyarakat Adat yang telah diatur di dalam konstitusi.
Kepala Devisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya menyatakan dari analisis tutupan hutan di 1.336 Wilayah Adat, BRWA mengidentifikasi ada sekitar 12,9 hektar berupa hutan primer dan 5,37 juta hektar hutan sekunder. Pada areal hutan sekunder ini, katanya, sudah cukup banyak yang dikelola oleh badan usaha setelah mendapat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah.
Ariya mengungkap dari berbagai data profil Masyarakata Adat yang terhimpun di BRWA, Masyarakat Adat sesungguhnya memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya. Menurutnya, kekuatan ini menjadi benteng terakhir bagi Masyarakat Adat untuk menyelamatkan hutan yang tersisa, memulihkan degradasi hutan dari kepentingan bisnis serta menekan laju perubahan iklim dan penyelamatan keanaragaman hayati.
Sebaliknya, pemutusan hubungan Masyarakat Adat dengan hutan dan tanah leluhurnya karena kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan pemerintah kepada badan-badan swasta akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia.
Ariya mengatakan terkait ini, dibutuhkan kesungguhan Pemerintah Daerah dan Kementerian/Lembaga Pemerintah untuk menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia. Menurutnya, hal ini dapat dilakukan melalui Pengesahan RUU Masyarakata Adat dan pengalokasian anggaran yang memadai dalam proses pengakuan Masyarakat Adat melalui anggaran pemerintah pusat dan daerah.
“Jadi, ada dua kuncinya untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia: Sahkan RUU Masyarakat Adat dan alokasikan anggaran yang memadai,” katanya.
***