Kisah Perjuangan Perempuan Adat di Percut Saentis Melawan Penjajah Wilayah Adat
22 September 2023 Berita Elan CahayuOleh: Elan Cahayu
Mahyuni seorang warga kampung Percut Saentis di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia kini berusia 59 tahun. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, Mahyuni masih dengan sepenuh hati dan semangat melakukan apapun yang bisa dia lakukan untuk mempertahankan wilayah adatnya.
Perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung di Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), punya mimpi besar untuk merebut kembali wilayah adat mereka yang sudah lama dirampas oleh penjajah.
BPRPI dibentuk tahun 1953 oleh Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang tersebar di kampung-kampung yang ada di Kabupaten Deli.
“Saya optimis, suatu saat damai dan tenang akan datang kembali ke wilayah adat kami. Dan kelak, anak cucu kami akan hidup dengan sejahtera di atas tanah adat yang kami kelola bersama,” ungkap Mahyuni di kampung adat Percut Saentis pada 18 September 2023.
Dirampas Penjajah
Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sejak dahulu kala telah bermukim di tanah Deli. Wilayah adat di kampung mereka subur. Masyarakat Adat hidup tenang dan sejahtera dari hasil bercocok tanam di kampung mereka.
Segalanya berubah, ketika Belanda mulai menjajah bumi pertiwi. Memasuki tahun 1920, Belanda merampas lahan Masyarakat Adat dan mengubahnya menjadi perkebunan tembakau yang luas. Perkebunan itu tumbuh pesat sehingga Belanda harus mendatangkan buruh kontrak dari China, India maupun Jawa.
Sejak masa itulah, nama Percut Saentis disematkan. Percut Saentis miliki arti kampung tempat para ahli pertanian berkumpul.
Sebelum Belanda masuk ke wilayah adat mereka, nenek moyang warga Percut Saentis selalu bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah dari sisi hutan satu ke hutan lainnya. Kebiasaan ini mereka sebut dengan tradisi berladang Reba.
Namun sejak masuknya penjajah Belanda dan menguasai lahan adat mereka, Masyarakat Adat tidak lagi melakukan perladangan berpindah. Sejak saat itu, mereka bertanam di atas areal perkebunan tembakau yang telah dipanen.
Sepanjang penjajahan Belanda, hanya satu harapan warga kampung Saentis, bahwa suatu hari Indonesia merdeka, mereka akan kembali sepenuhnya mengelola tanah adat.
Kemerdekaan Yang Menyakitkan
Kemerdekaan yang dinanti-nanti itu akhirnya datang. Penjajah Belanda angkat kaki dari tanah air. Namun alih-alih mengembalikan tanah adat kembali ke tangan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di kampung Saentis, justru kali ini negara Indonesia yang merebut tanah adat mereka.
Seluruh tanah adat, termasuk kebun tembakau milik Belanda dinasionalisasi dan menjadi milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sejak itu dilarang sama sekali untuk bertanam di lahan adat tersebut.
PTPN dan preman-premannya menjaga area tersebut. Mereka tidak segan mengusir serta menangkap Masyarakat Adat yang berada di lahan tersebut.
Kali ini terasa lebih sakit karena yang melakukannya adalah saudara sendiri, negara sendiri, yang seharusnya melindungi kampung Percut Saentis.
Saentis 1926
Perlawanan Perempuan Adat
Tidak jarang Masyarakat Adat kampung berbondong-bondong masuk ke lahan adat yang sudah dirampas oleh PTPN. Mereka bercocok tanam dan mendirikan rumah, kemudian diusir keluar.
Usaha Masyarakat Adat Rakyat Penunggu lewat BPRPI untuk menyelesaikan konflik agraria dengan PTPN telah dilakukan berkali-kali selama bertahun-tahun, namun belum ada hasil memuaskan yang bisa menjawab tuntutan mereka.
Mahyuni mengenang peristiwa demi peristiwa pengusiran dan konflik yang mereka hadapi dengan PTPN. Ia mengingat betul setiap tanggal perlawanan mereka.
Misalnya di tanggal 10 Mei 1995, sebut Mahyuni, ada 200 orang warga kampung yang masuk ke wilayah adat yang telah dikuasai PTPN. Di sana mereka menanami lahan dengan jagung dan kacang.
“Saat tanaman kami sudah mulai tumbuh tinggi, datanglah preman-preman suruhan PTPN II. Mereka merusak dan membabat habis semua yang sudah kami tanam. Mereka juga mengusir kami dari lahan itu,” kenang Mahyuni.
Ia menerangkan saat itu, banyak warga kampung yang ketakutan lalu pergi. Tersisa, sekitar 100 orang warga kampung yang masih bertahan, termasuk Mahyuni.
“Saya tidak pergi dari lahan itu. Saya tidak punya pilihan, anak saya banyak. Hanya dengan bertani di lahan itu, kami bisa makan,” kata Mahyuni yang hingga kini masih bertahan di tanah adat kampung Percut Saentis.
Pada bulan Agustus 1996, preman-preman kembali memporakporandakan ladang dan rumah milik Masyarakat Adat di area tersebut. Banyak rumah yang dibakar, tanaman pun ditebas.
“Padahal, saat itu tinggal menunggu 15 hari lagi jagung saya siap panen,” tutur Mahyuni dengan nada lirih.
Mahyuni bersama warga kampung tak menyerah. Mereka tidak punya pilihan lain. Meski takut dan khawatir mereka tetap maju, pelan-pelan kembali mencoba untuk tetap menanami lahan tersebut.
“Kami perempuan yang selalu berdiri paling depan. Sebab, kami tahu kalau kami biarkan laki-laki yang maju maka akan terjadi konflik yang lebih parah, mungkin akan jatuh korban jiwa,” ungkapnya.
Di tahun 1997, konflik kembali terjadi. Namun, kali ini para preman tak hanya sebatas membakar tanaman Masyarakat Adat.
“Kami diserang. Ibu-ibu hamil didorong sampai terjatuh dan terluka. Seseorang dari komplotan preman memukul keras mulut saya hingga gigi saya patah. Banyak korban yang mereka pukuli sampai harus dibawa ke rumah sakit, termasuk saya,” tuturnya sembari menambahkan saat itu Ketua Kampung Ramadi ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara 10 tahun lamanya.
Membuat Trauma
Amarah warga kampung seketika membara. Beberapa dari mereka menyiram bensin ke selusin sepeda motor para preman yang menyerang mereka lalu membakar semua kendaraan itu.
Erlin Erlina, 40, anak pertama Mahyuni berkata bahwa segala kenangan buruk tentang serangan-serangan pihak PTPN itu membuatnya trauma hingga sekarang.
“Saat itu, saya masih kecil. Umur saya masih belasan tahun. Saya melihat sendiri bagaimana preman-preman menyerang ibu-ibu hamil dan memukuli mereka dengan balok kayu. Saya juga melihat ibu saya (Mahyuni) dikeroyok dan dipukuli oleh lima orang laki-laki. Wajah ibu saya berdarah-darah, beberapa giginya patah hingga ia harus memakai gigi palsu sampai sekarang,” cerita Erlin yang kini sudah berusia 40 tahun.
Banyak Masyarakat Adat di Percut Saentis, terutama perempuan yang trauma dengan perlakukan anggota PTPN II. Namun warga kampung Percut Saentis tak lama-lama bersedih karena mereka harus selalu siaga dan siap melawan serangan-serangan yang ditujukan pada mereka.
Victoria Juntak, salah seorang perempuan yang aktif mempertahankan Wilayah Adat di kampung Percut Saentis menerangkan di tahun 2012, rumahnya yang baru dibangun di tanah adat didatangi beberapa anggota PTPN II.
“Mereka bilang saya tidak boleh bangun rumah di area itu. Jantung saya berdebar-debar kencang menghadapi mereka, tapi saya tidak mengalah begitu saja. Saya lawan mereka, saya tidak mau meninggalkan rumah saya yang saya dirikan di atas tanah adat kami. Karena itu, saya harus bolak balik urus masalah ini di kantor polisi dan kantor desa,” kata Victoria.
Tak hanya mengintimidasi warga kampung, PTPN II juga mencabuti papan-papan yang berlogo dan bertuliskan BPRPI di seluruh kampung.
Kampung tak pernah lagi terasa aman. Pilihannya hanya melawan atau terusir. Dan perempuan-perempuan di kampung Percut Saentis memilih yang pertama: melawan.
“Selama 10 tahun saya tinggalkan anak laki-laki saya di rumah ibu, sementara saya tinggal di atas tanah adat ini. Alasan saya memilih keputusan yang berat ini adalah karena saya ingin melanjutkan perjuangan mendiang suami saya untuk merebut kembali hak kami atas tanah adat. Saya tidak bisa melepas begitu saja perjuangan ini,” kata Renta Uli, salah satu perempuan yang aktif memperjuangkan tanah adat warga kampung Percut Saentis.
Keputusan Renta Uli untuk bermukim di lahan itu pada tahun 2007 tidak lantas membuat perjuangan menjadi mudah. Dia pun kerap menerima intimidasi dari pihak PTPN II.
“Baru lima bulan saya tinggal disitu, ada lima tentara yang memasang plang-plang penanda agar saya tidak menanam atau membangun rumah disitu. Saya marah, plang-plang itu saya cabut dan buang di selokan. Melihat itu tentara-tentara yang membuat penanda tadi marah dan hampir menampar saya,” kenang Renta Uli.
Konflik dan perjuangan tak henti-hentinya terjadi di sekitar lahan adat. Kantor BPRPI sempat dibakar habis oleh PTPN, alat-alat berat didatangkan untuk meluluhlantakkan semua rumah dan perkebunan yang sudah dibangun Masyarakat Adat.
“Tapi kami kompak, kami kumpulkan masyarakat desa dan kami melawan. Kami hadang itu alat-alat berat yang dibawa masuk ke lahan adat kami. Apa yang kami perjuangkan ini penting bagi kami maka walaupun kami harus mati di atas tanah adat kami, kami siap,” katanya.
Ketua Kampung Percut Saentis, Ramadi yang sempat dikriminalisasi hingga dipenjara 10 tahun karena perlawanannya terhadap PTPN II, turut menggarisbawahi pentingnya peran perempuan adat Percut Saentis dalam perjuangan mereka.
Ramadi berkata perempuan adat mempunyai peran penting dalam menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah sehingga kampung Percut Saentis akhirnya mendapatkan pengakuan tentang keberadaan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di kampung Percut Saentis. Proses pengakuan itu berlangsung dari tahun 2020 hingga 2021.
Ramadi menambahkan tak hanya perjuangan melawan PTPN, tapi perempuan-perempuan adat juga besar andilnya dalam mengorganisir diri untuk membuat kebun kolektif untuk menjaga kedaulatan pangan di kampung, terutama selama masa pandemi.
Babak Baru Perjuangan
Perjuangan Mahyuni dan perempuan-perempuan adat Percut Saentis belum selesai. Ancaman baru ada di depan mata. Tanah adat mereka kini terancam digusur demi merealisasikan rencana perusahaan Ciputra Group yang diberi nama proyek Deli Megapolitan untuk mendirikan komplek perumahan dan kawasan industri premium di atas tanah adat Masyarakat Rakyat Penunggu.
Proyek yang telah dirancang sejak tahun 2011 dan mulai dibangun pada 2021 ini merupakan kerjasama PTPN II dan Ciputra Group yang akan dibangun di atas tanah seluas 8.077 hektar dan akan menelan biaya sekitarRp 128 triliun.
Mahyuni mengatakan semua orang di kampung Percut Saentis sudah tahu tentang hal ini. “Tolong kami, jangan biarkan Deli Megapolitan merampas tanah adat kami,” katanya.
Ia berharap UU Masyarakat Adat segera disahkan sehingga tanah adat mereka bisa menjadi rumah dan sumber hidup bagi anak-anak di masa depan.
“Mimpi kami bisa hidup tanpa gangguan dari perusahaan-perusahaan apapun lagi. Jangan ancam-ancam kami lagi. Biarkanlah kami hidup damai di sini. Kami sudah lelah,” katanya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sumatera Utara