Komnas HAM Desak Hakim PN Simalungun Hentikan Persidangan Sorbatua Siallagan
30 Mei 2024 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak hakim segera menghentikan sidang kasus kriminalisasi terhadap tetua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara pada Rabu (29/5/2024).
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Pengkajian dan Penelitian, Saurlin Siagian mengatakan kasus yang dialami Sorbatua Siallagan sebenarnya tidak masuk ke ranah hukum karena ada proses administrasi dalam sengketa teritorial yang belum diselesaikan pemerintah. Dikatakannya, mungkin satu atau dua tahun ini kasus sengketa tanah adat ini selesai. Kita punya 31 kasus sengketa tanah adat, salah satunya di Dolok Parmonangan.
“Hasil penelitian kami ada 31 kelompok Masyarakat Adat yang berkonflik di Tano Batak dan sudah ada titik terang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penyelesaian konflik ini. Makanya, kami minta sidang Sorbatua Siallagan dihentikan karena seharusnya kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat tidak perlu dilakukan," kata Saurlin Siagian usai menghadiri persidangan Sorbatua Siallagan di Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu (29/5/2024).
Saurlin menjelaskan kehadiran Komnas HAM dalam persidangan Sorbatua Siallagan sebagai wujud untuk membantu penyelesaian konflik Masyarakat Adat yang ada di Tano Batak.
Pengadilan Negeri Simalungun mulai mengadili Sorbatua Siallagan pada Rabu (22/5/2024) dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, Sorbatua didakwa atas dua pasal: pembakaran hutan dan menduduki kawasan hutan tanpa izin.
Saurlin Siagian dari Komnas HAM. Dokumentasi AMAN
Namun, melalui nota keberatannya, Sorbatua Siallagan membantah semua dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sorbatua Siallagan sebagai Ketua Masyarakat Adat tidak pernah melakukan pembakaran hutan bahkan sampai hari ini beliau dan komunitas tetap menjaga hutan lestari dengan sumber mata air yang terjaga. Sorbatua juga tidak menduduki kawasan hutan tanpa izin. Lahan yang dikuasainya adalah lahan milik leluhur mereka yang sudah 11 generasi dikuasai dan ditanami.
Audo Sinaga selaku penasihat hukum Sorbatua Siallagan juga membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dikatakannya, surat dakwaan JPU secara umum tidak cermat dan tidak jelas serta kabur dan tidak lengkap. Sebab, menggunakan dasar hukum undang-undang yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Untuk itu, Sorbatua harus dibebaskan dari hukum demi tegaknya keadilan,” tandasnya.
Audo menjelaskan komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mendiami wilayah adat mereka sejak tahun 1700-an, jauh sebelum Republik Indonesia merdeka tahun 1945. Disebutnya, pemerintah menetapkan kawasan wilayah adat menjadi kawasan hutan pada tahun 1982. Padahal, wilayah tersebut adalah wilayah adat Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Pada tahun 1993, Pemerintah memberikan izin konsesi hutan kepada PT.Toba Pulp Lestari. Akan tetapi, dalam surat dakwaan JPU justru mendakwa Sorbatua Siallagan membakar hutan dan menduduki kawasan hutan tanpa izin.
“JPU sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah berdiam di wilayah itu jauh sebelum izin konsesi PT TPL diberikan negara,” ungkapnya.
Kawal Persidangan
Sejumlah komunitas Masyarakat Adat yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL melakukan aksi solidaritas di depan gedung Pengadilan Negeri Simalungun untuk mengawal persidangan Sorbatua Siallagan. Mereka menuntut bebaskan Sorbatua Siallagan dari segala dakwaan, hentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak-hak mereka, sahkan Perda Masyarakat Adat di Sumatera Utara.
Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyatakan akan terus mengawal persidangan Sorbatua Siallagan hingga mendapatkan keadilan. Hengky mengatakan penangkapan Sorbatua Siallagan merupakan bentuk kriminalisasi di tengah perjuangan Masyarakat Adat menjaga wilayah adat mereka. Ia menduga cara-cara kriminalisasi ini kerap dipakai oleh perusahaan untuk menggunakan institusi kepolisian guna menghalau agar Masyarakat Adat berhenti berjuang untuk tanah adatnya.
“Masyarakat Adat Tano Batak tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas. Kami akan terus melawan ketidakadilan,” tandasnya.