Oleh Sepriandi

Masyarakat Adat dan komunitas lokal di Indonesia sejak dahulu menjadi penyandang hak keanekaragaman hayati. Itu dibuktikan dengan praktik-praktik konservasi Masyarakat Adat yang dilakukan secara turun-temurun dalam menjaga wilayah adat.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Eustobio Rero Renggi dalam diskusi Ngobrol Asik Online (Ngaso) yang digelar,  Senin 11 Noevember 2024.

Diskusi bertajuk “Hak Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati: Mewujudkan Komitmen Pasca COP16” juga dihadiri pembicara lain yaitu Manager Kampanye WALHI Uli Arta Siagian dan Supervisor Advokasi HuMa Bimantara Adjie W.

Eustobio menyatakan Masyarakat Adat saat ini mayoritas hidup dalam kawasan hutan. Mereka menjaga dan melestarikan hutan yang memberikan manfaat bagi ekosistem dan kehidupan di komunitas. Menjaga laut, menjaga sumber air serta melindungi keberlangsungan keagenaragaman hayati.

“Semuanya masih tetap terjaga karena dijaga dan dirawat oleh Masyarakat Adat dengan pengetahuan lokal dan cara-cara tradisional,” kata Eustobio selaku delegasi AMAN yang hadir dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Keanekaragaman Hayati COP16 di Cali, Kolombia pada 21 Oktober-1 November 2024.

Pria yang akrab disapa Eus ini menuturkan meskipun negara mengakui peran Masyarakat Adat dalam menjaga bumi dan keanekaragaman hati sangat penting. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan kebijakan negara yang semakin menghilangkan keberadaan Masyarakat Adat. Ia menyebut sejak 10 tahun terakhir, ada 11,7 juta hektare tanah dan wilayah adat dirampas dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN). Kemudian, konflik agraria terjadi,  lebih dari 1000 Masyarakat Adat mengalami kekerasan dan kriminalisasi.

“Problem ini semua, belum ada Undang-Undang Masyarakat Adat,” tegasnya.

Eustobio menambahkan belum adanya kebijakan yang kongkrit tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat ini menyebabkan cara-cara tradisional Masyarakat Adat dan komunitas lokal dalam menjaga hutan dan lingkungan sering kali diklaim pihak tertentu.  Sehingga, imbuhnya, hal yang paling krusial saat ini harus dilakukan adalah mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Berdasarkan data, sebut Eustobio, ada sekitar 300 lebih Peraturan Daerah (Perda) pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di daerah. Dikatakannya, Perda yang ada ini dijadikan rujukan basis Masyarakat Adat dalam bentuk Undang-Undang.

“Kita mereview apa saja yang masih menjadi kekurangan Perda yang telah dilahirkan di daerah ini,” jelasnya.

Manager Kampanye WALHI, Uli Arta Siagian juga turut menegaskan betapa pentingnya Undang-Undang Penghormatan, Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat. Ia menyebut akibat tidak adanya UU Masyarakat Adat, selama ini telah tarjadi kerusakan lingkungan yang semakin brutal. Akibatnya, Masyarakat Adat dan komunitas lokal semakin hilang dan terpinggirkan.

“Karena itu, yang paling penting itu komitmen pemerintah dalam mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat,” ungkap Uli.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bengkulu

Writer : Sepriandi | Bengkulu
Tag : WALHI COP 16 CBD FWI