Oleh : Shinta Aprillia dan Melani Dwi Khotimah

Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( PB AMAN ) menggelar diskusi publik tentang urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keanekaragaman Hayati COP16 di Cali, Kolombia.

Diskusi publik yang dilaksanakan di Rumah AMAN Tebet-Jakarta pada Rabu, 4 Desember 2024 ini menghadirkan beberapa orang narasumber dari organisasi masyarakat sipil. Para narasumber berpendapat sudah saatnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat karena dinilai sangat penting untuk perlindungan penuh Masyarakat Adat dan wilayah adat dengan segala keanekaragaman hayatinya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi PB AMAN, mengatakan setiap tahun RUU Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Badan Legislasi yang mengusulkan setiap tahun. Tapi sayangnya, kata Tommy, tidak dikerjakan. Padahal, ada anggarannya di DPR RI.

Tommy menerangkan janjinya anggota DPR, Undang-Undang Masyarakat Adat akan disahkan pada tahun 2025. Untuk itu, kata Tommy, pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat ini perlu terus dikawal agar tidak mangkrak lagi di DPR.

“Sudah cukup lama RUU Masyarakat Adat ini mangkrak di DPR, ini harus kita kawal agar tahun 2025 bisa segera disahkan,” kata Tommy di acara diskusi publik.

Teo Reffelsen, salah seorang narasumber dari WALHI menuturkan selama ini pemerintah dan DPR tidak patuh terhadap peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Masyarakat Adat. Dalam aturan MK tahun 2012 yang bersifat yudisial order disebutkan oleh karena belum ada Undang-Undang Masyarakat Adat, maka kemudian pengakuannya jatuhnya ke Peraturan Daerah (Perda). Sayangnya, kata Teo, tata negara gagal untuk memaknai kekuatan mengikat dari pertimbangan MK tersebut.

“Prinsip-prinsip perintah pengadilan, prinsip-prinsip yudisial order yang ada di beberapa

putusan MK terkait dengan urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat hingga semua proses

yang berhubungan dengan Masyarakat Adat, pasti dinomorduakan. Baik dari segi

legislasi maupun dari segi kebijakan, sehingga kemudian tidak heran kalau kita lihat situasi

dan kondisi Masyarakat Adat, masyarakat lokal yang di dekat kawasan-kawasan hutan atau di dekat perizinan-perizinan berusaha semakin buruk,” ungkapnya.

Mufti Fahrul Barri dari Forest Watch Indonesia (FWI) menerangkan 80 persen biodiversity di dunia ada di wilayah Masyarakat Adat. Hal itu menunjukkan perlunya perlindungan dan peran Masyarakat Adat dalam menjaga biodiversity. Ironisnya, UU Konservasi Sumber Daya Alam yang disahkan pemerintah telah mengeliminasi peran Masyarakat Adat dalam menjaga biodiversity.

Menurut Mufti, hal ini semakin menguatkan tidak adanya perubahan paradigma Indonesia terhadap Masyarakat Adat disaat dunia Internasional memiliki ke majuan atas hal itu.

“Jika paradigma Indonesia mengikuti paradigma dunia global, maka sumber daya satwa, tumbuhan, laut hingga komunitas Masyarakat Adat akan luar biasa. Paradigma menjadi hal mainstream yang perlu dilakukan untuk daerah dan Masyarakat Adat,” tegasnya.

Mufti mengatakan ditengah ancaman perubahan iklim saat ini, Masyarakat Adat seharusnya bisa didorong untuk mengambil peran dalam menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem.

“Peran Masyarakat Adat sebagai pengelola sumber daya alam ini sangat strategis,” ujarnya.

Mufti menjelaskan tujuan utama konservasi adalah murni melindungi, namun masih rentan dikarenakan pelindungnya yang masih bisa dibuka. Contohnya, adalah beberapa juta hektar di Papua: Taman Wilayah, Taman Margasatwa menjadi Taman Nasional. Sayangnya, sebut Mufti, peran Masyarakat Adat di Papua tidak dilibatkan. Padahal, mereka yang telah hidup berdampingan dengan alam.

“Masyarakat Adat bukan ancaman, yang menjadi ancaman itu adalah negara yang sebenarnya membuat semua orang menjadi tidak boleh mengakses dan melakukan pembatasan Masyarakat Adat terhadap sumber daya alam (konversi) yang selama ini menjadi mata pencaharian mereka,” terangnya

***

Penulis adalah volunteer Infokom PB AMAN

Writer : Shinta Aprillia dan Melani Dwi Khotimah | Penulis adalah volunteer Infokom PB AMAN
Tag : AMAN Menggelar Diskusi Publik Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat Pasca COP-16