Oleh: Arman Seli

Klaim hutan lindung oleh pemerintah melalui pengawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Banawa-Lalundu membuat ruang Masyarakat Adat di sekitar pegunungan Kamalisi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah terkekang oleh kebijakan itu.

Pembangunan  Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur juga membuat sebagian wilayah adat di Kamalisi masuk dalam ancaman ekspansi industri ekstraktif guna memenuhi target material batu dan kerikil sebanyak 30 juta ton untuk pembangunan mega proyek Ibu Kota tersebut.

Sementara itu, pelepasan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) kerap kali sebagai modus mendorong investasi masuk ke wilayah adat, salah satunya adalah pertambangan Galian C.

Merespon hal ini,  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi bersama Samdhana Institute merumuskan sebuah model advokasi kebijakan yang inklusif atau bisa menyentuh  semua tingkatan, baik komunitas adat, Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Kamalisi, Demus Paridjono mengatakan model advokasi ini diharapkan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat di Kamalisi. Demus menyebut banyak komunitas Masyarakat Adat di pegunungan Kamalisi yang saat ini perlu mendapat advokasi. Mereka adalah komunitas adat Vau, Rompi, Vaturalele, Vatutinggu, Vaelipe, Onguntovaiyo, Sibava, Visolo, Ona, Vavuja’I, Matantimali, Tavalai Banja, Perato, Vovako, Vanantongo, Pinembani, Laniboko, Karovia, Vavongga, Pakava, Vaenumpu Vayanga, Nggolo, Pantapa, Kasoloa dan Karavana.

Pada masa Orde Baru, sebut Demus, Masyarakat Adat di sekitar pegunungan Kamalisi pernah dipindah paksa ke dataran Palolo karena dituding wilayah adatnya masuk dalam kawasan hutan lindung dan dianggap sebagai perambah hutan. Akibatnya, konflik antara Masyarakat Adat di Kamalisi dengan rezim kehutanan masih terjadi hingga saat ini.

"Konflik Masyarakat Adat di Kamalisi dengan kehutanan sampai saat ini masih berlangsung, tapi pemindahan paksa seperti yang terjadi di tahun 1970-an tidak ada lagi,” kata Demus Paridjono dalam sebuah acara diskusi di Rumah AMAN Kamalisi pada akhir bulan Desember 2024.

Demus mencontohkan konflik yang terjadi di komunitas adat Nggolo,  BPKH Wilayah XVI Palu pernah di denda adat karena pasang patok tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat setempat.

Malik dari Unit Policy Support, Samdhana Institute menjelaskan model advokasi yang mereka rumuskan akan menyesuaikan dengan kebutuhan Masyarakat Adat di Kamalisi. Menurutnya, advokasi kebijakan soal pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat yang memiliki beberapa skema ini perlu terus didorong.

“Bukan hanya advokasi hutan adat yang didorong, tetapi juga ada Hak Kekayaan Intelektual Komunal, kearifan lokal, desa adat, pendaftaran Hak Ulayat, yang masing-masing itu semua ada Kementerian yang menanganinya," paparnya.

Malik menjelaskan bahwa melakukan advokasi di Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat perlu memahami politik kebijakan sehingga apa yang kita lakukan dapat tercapai dengan baik dan butuh kesabaran.

"Kita juga berharap dalam beberapa waktu ke depan, advokasi kebijakan bisa terhubung dengan kerja-kerja AMAN Kamalisi di komunitas adat," pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah

Writer : Arman Seli | Sulawesi Tengah
Tag : AMAN Kamalisi dan Samdhana Rumuskan Model Advokasi Kebijakan Inklusif