Refleksi Perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak 2024 : Diwarnai Kriminalisasi dan Intimidasi
30 Januari 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh : Maruli Simanjuntak
Potret perjuangan Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara sepanjang tahun 2024 diluncurkan dalam “Buku Catatan Akhir Tahun” di Pondok Kreatif Parapat pada Sabtu, 25 Januari 2025.
Acara peluncuran buku yang memuat berbagai kasus kriminalisasi hingga intimidasi Masyarakat Adat Tano Batak ini diselenggarakan oleh AMAN Tano Batak bekerjasama dengan KSPPM, BAKUMSU, Aliansi Gerak Tutup TPL, dan komunitas seni lokal.
Sejumlah pimpinan organisasi dan tokoh Masyarakat Adat dihadirkan sebagai narasumber dalam acara yang bertajuk : Refleksi Perjalanan Masyarakat Adat Tano Batak 2024. Mereka adalah Ketua PW AMAN Tano Batak Jhontoni Tarihoran, Direktur KSPPM Delima Silalahi, Direktur BAKUMSU Juni Aritonang, Budayawan Thomson Hutasoit, tokoh Masyarakat Adat Sorbatua Siallagan.
Jhontoni Tarihoran yang mendapat kesempatan pertama berbicara dalam diskusi ini menyoroti kasus kriminalisasi yang terus dialami Masyarakat Adat. Jhontoni mencontohkan kasus kriminalisasi Masyarakat Adat di Pandumaan-Sipituhuta tahun 2013 dan Sihaporas tahun 2024.Di kedua lokasi wilayah adat ini, sebut Jhontoni, Masyarakat Adat dengan mudah ditangkap secara paksa tanpa disertai surat penangkapan dari polisi.
“Penangkapan seringkali disertai kekerasan dan kejadian ini banyak dialami anak-anak dan perempuan," ungkapnya.
Jhontoni mengatakan merujuk dari berbagai kasus kriminalisasi ini, membuktikan bahwa negara belum berpihak kepada Masyarakat Adat. Ia pun menyinggung kasus Sorbatua Siallagan, yang baru-baru ini dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Medan setelah ditangkap secara paksa dan dihukum pidana dua tahun penjara di Pengadilan Negeri Simalungun. Jhontoni menerangkan kasus Sorbatua Siallagan ini menjadi gambaran betapa sulitnya perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan hak atas tanah adatnya.
Direktur KSPPM Delima Silalahi mengungkap saat ini posisi Masyarakat Adat di Tano Batak sangat terhimpit. Selain berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), sebutnya, Masyarakat Adat Tano Batak juga menghadapi dua Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni pengembangan pariwisata Internasional dan Food Estate.
“Kedua proyek PSN itu kerap merampas tanah adat Tano Batak,” tandasnya.
Delima menambahkan kebijakan proyek PSN yang buruk ini semakin memperparah kondisi Masyarakat Adat Tano Batak. Menghadapi semua ini, kata Delima, diperlukan solidaritas dan semangat kolektif dari semua eleman masyarakat, termasuk Masyarakat Adat Tano Batak untuk melawan ancaman PSN tersebut.
Sejumlah tokoh organisasi dan Masyarakat Adat hadir di acara Refleksi Perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak 2024. Dokumentasi AMAN
Budaya Sebagai Alat Perjuangan
Budayawan Thomson Hutasoit menyikapi persoalan Masyarakat Adat Tano Batak saat ini dari sudut pandang budaya. Menurutnya, pelestarian budaya atau ritual adat memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi keberadaan Masyarakat Adat Tano Batak. Ia mencontohkan sekolah adat di Sihaporas, Lontung, dan Sigala-gala menjadi benteng untuk melestarikan tradisi leluhur dan menjaga budaya Masyarakat Adat Tano Batak.
“Budaya ini perlu terus dikembangkan sebagai alat perjuangan agar tradisi Masyarakat Adat di Tano Batak tidak punah," ujarnya sembari memuji keberanian generasi muda yang mulai terlibat aktif dalam mempertahankan peradaban leluhur.
Sahkan UU Masyarakat Adat
Direktur BAKUMSU Juni Aritonang menyoroti permasalahan dibalik semua konflik yang terjadi di tengah kehidupan Masyarakat Adat, termasuk di Tano Batak adalah lambannya pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat. Menurutnya, selama Undang-Undang Masyarakat Adat belum disahkan oleh DPR dan Pemerintah maka disaat itu akan banyak korban kriminalisasi dari Masyarakat Adat.
"Buktinya, selama satu dekade pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat mandek di DPR RI, Masyarakat Adat terus menjadi korban kriminalisasi," ujar Juni.
Ia mencontohkan kasus Dolok Parmonangan dan Sihaporas, di mana Masyarakat Adat dipaksa bersalah dihadapan hukum.
Sorbatua Siallagan, salah seorang korban kriminalisasi yang dipaksa bersalah dihadapan hukum. Namun, dalam perjalanannya Sorbatua dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Menurutnya, pengalaman ini sangat pahit, sekaligus menjadi bukti bahwa hukum negara tidak adil terhadap Masyarakat Adat.
“Susah sekali Masyarakat Adat mendapatkan keadilan di negeri ini. Padahal, kami ini bagian dari anak bangsa yang dilindungi oleh konstitusi negara,” ujarnya sambil berteriak : Sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara