Oleh Arman Seli

Kerusakan lingkungan yang terjadi di sepanjang wilayah adat pesisir Palu – Donggala, Sulawesi Tengah diangkat ke dalam sebuah film dokumenter berjudul “Menjaga Kamalisi”.

Film berdurasi 26 menit ini telah dirilis di Balai Pertemuan Adat (Bantaya) Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada Kamis, 30 Januari 2025.

Film yang digarap oleh banyak pihak ini coba menguak fakta dibalik kerusakan wilayah adat dan penangkapan 15 orang Masyarakat Adat Kalora yang menolak perusahaan tambang galian C di wilayah adat mereka.

Film dokumenter “Menjaga Kamalisi” menceritakan dampak kerusakan lingkungan di wilayah adat Kamalisi yang dilakukan oleh perusahaan tambang galian C. Di dalam film ini disebutkan izin tambang di pesisir Palu – Donggala ada sebanyak 72, dua diantaranya berada di wilayah adat Vayanga, desa Kalora, Kabupaten Sigi.

Dibalik cerita maraknya izin tambang di pesisir Palu – Donggala, terbetik kisah pilu penangkapan 15 orang Masyarakat Adat Kalora oleh petugas keamanan perusahaan tambang atas dugaan pencemaran nama baik.

Disisi lain, film ini juga mengisahkan ada 30 makam leluhur Masyarakat Adat Balumpewa di rusak oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah dan dibangunkan jalan untuk akses wisata air terjun Wera, Kabupaten Sigi.


Diskusi dan nobar film "Menjaga Kamalisi". Dokumentasi AMAN

Oskar Tikabaja selaku kuasa hukum Masyarakat Adat Kalora menyatakan dari film ini kita bisa melihat dengan jelas dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang.

"Film ini menguak fakta kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh keserakahan perusahaan tambang," kata Oskar yang juga Divisi Hukum dan Advokasi AMAN Kamalisi.

Oskar mengajak Masyarakat Adat satu suara untuk melawan perusahaan tambang. Menurutnya, Masyarakat Adat tidak boleh takut melawan perusahaan tambang dan pihak-pihak yang membuka jalan untuk merusak wilayah adat.

Oskar menuturkan ada yang menarik untuk diambil pelajaran dari cerita film ini adalah sebuah kalimat filosofi “Indoku Dunia, Umaku Langi” yang menggambarkan bentuk keterikatan antara manusia dan alam semesta.

“Bagi Masyarakat Adat di pegunungan Kamalisi hal ini sangat sakral sehingga mempertahankan hak atas tanah adalah sesuatu yang wajib dan harus dilakukan,” katanya.

Hal senada dikatakan Kemal,  salah seorang Masyarakat Adat Kalora yang mengutip pesan leluhurnya : "Lebih baik mati daripada harus malu". Ungkapan ini disampaikan Kemal dalam film “Menjaga Kamalisi”.

"Ane Maeya, Nuapa Balasina," sambung Kemal menggunakan bahasa adat setempat yang berarti : Jika malu, apa balasannya. Hal ini bermakna bahwa jika dalam posisi benar sekali pun mati menjadi resiko mereka akan tetap melawan perusahaan.

Direktur Celebes, Wahyu Perdana Putera, salah satu penggarap film dokumenter “Menjaga Kamalisi”  menerangkan bahwa pembuatan film ini terlaksana atas kerjasama Celebes bergerak, AMAN Kamalisi, Cosmo Production, Masyarakat Adat Kalora, Salena, Balumpewa, termasuk juga Buluri.

“Kerjasama ini menghasilkan film hebat yang kita rilis di Kalora," ungkapnya.

Wahyu berharap film dokumenter yang mereka garap ini bermanfaat untuk banyak orang, termasuk Masyarakat Adat dan semua kelompok rentan.

"Semoga film ini bermanfaat bagi kita semua yang masih berjuang dan mempertahankan lingkungan hidup" pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah

Writer : Arman Seli | Sulawesi Tengah
Tag : AMAN Kamalisi