Oleh Maruli Simanjuntak

Sejumlah pimpinan gereja mendesak pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan perusahaan PT Toba Pulp Lestari  (TPL) kepada Masyarakat Adat di Tano batak. 

Pimpinan gereja juga mendesak pihak TPL untuk membuka semua akses jalan yang menuju ke ladang Masyarakat Adat yang ditutup dengan portal pasca tindak kekerasan yang dilakukan TPL di Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-Borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara

Ephorus Huria Kristen Indonesia (HKI) Firman Sibarani menyatakan prihatin dengan kondisi Masyarakat Adat di Tano Batak yang terus mendapat tindak kekerasan dari TPL. Firman juga prihatin dengan  perlakuan tidak adil dari pemerintah selama berkonflik dengan TPL.  Ia mencontohkan penutupan akses jalan dengan portal ke lokasi perladangan Masyarakat Adat di desa Pohan Jae.     

Firman mengatakan berdasarkan informasi yang mereka terima, jauh sebelum ada TPL di Tano Batak, akses jalan menuju perladangan Masyarakat Adat di desa Pohan Jae telah digunakan sebagai jalan umum menuju ke Balige dan Laguboti.  Menurut Firman, seharusnya pemerintah membangun jalan tersebut agar Masyarakat Adat dapat dengan mudah pergi ke ladang mereka untuk bercocok tanam dan mengembala ternak, bukan justru menutupnya seperti sekarang.

“Saya sangat prihatin karena akses jalan satu-satunya bagi Masyarakat Adat menuju ke ladang ditutup portal. Akses jalan ini harus dibuka, tidak boleh ada portal karena akses jalan ini sumber pintu kehidupan Masyarakat Adat,” kata Firman saat mengunjungi lokasi konflik di Onan Harbangan, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong pada Selasa, 11 Februari 2025.

Kunjungan yang dihadiri sejumlah perwakilan gereja dari GPP, GKPI, GPKB, dan GKLI ini turut didampingi anggota DPRD Tapanuli Utara Maradona Simanjuntak. Kunjungan ini dilakukan pasca kekerasan yang dilakukan oleh TPL terhadap  Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan, yang dipicu penanaman paksa dan pemblokiran akses jalan Masyarakat Adat menuju hutan kemenyan oleh pihak perusahaan TPL.

Firman mengatakan pemerintah harus cepat turun tangan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Onan Harbangan ini. Firman menegaskan gereja akan terus mendampingi perjuangan Masyarakat Adat di Onan Harbangan untuk mendapatkan keadilan.

“Perjuangan Masyarakat Adat di Onan Harbangan adalah perjuangan kebenaran, jadi harus dibela dan dikawal,” tandasnya.

DPRD Dukung Perjuangan Masyarakat Adat

Anggota DPRD Tapanuli Utara Maradona Simanjuntak menegaskan TPL tidak berhak menutup akses jalan serta membangun portal di atas lahan yang statusnya masih dalam proses penyelesaian.

Menurut Maradona, akses jalan yang ditutup TPL adalah jalur penting yang menjadi urat nadi Masyarakat Adat. Oleh karena itu, sebutnya, DPRD Tapanuli Utara akan mengambil tindakan atas permasalahan ini karena hal ini terkait hajat hidup Masyarakat Adat.  

“Kami meminta pemerintah daerah segera menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berkepanjangan,” tegasnya.

Maradona juga mengingatkan pihak keamanan TPL agar tidak memprovokasi Masyarakat Adat. Ia mencontohkan bentuk provokasi seperti pemasangan portal yang menutup akses jalan bisa memancing ketegangan.

“Ini bisa memicu konflik. Kami tidak menginginkan ini terjadi, DPRD siap mendukung perjuangan Masyarakat Adat mencari keadilan,” kata Maradona.

Sarno Simamora, warga Onanharbangan, mengapresiasi kunjungan para pimpinan gereja ke desa mereka. Menurutnya, kunjungan ini menunjukkan kepedulian gereja terhadap permasalahan yang dialami Masyarakat Adat pada 20 Februari 2025.

“Kami berharap melalui kunjungan ini, pemerintah segera mengambil sikap tegas agar permasalahan ini bisa segera diselesaikan,” ujarnya.

Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) juga mengapresiasi kunjungan para pimpinan gereja. Rocky menyatakan gereja memiliki tugas untuk berpihak kepada kaum tertindas. Kunjungan ini menjadi bukti nyata dari komitmen tersebut.

“Kami mengapresiasi kunjungan pimpinan gereja yang hadir untuk menemui jemaat yang tertindas. Kehadiran pimpinan gereja ini setidaknya dapat menguatkan perjuangan Masyarakat Adat,” tuturnya.

Rocky berharap pimpinan gereja dapat mengambil sikap tegas, sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2003 saat gereja menolak kehadiran TPL di Tano Batak.

Menurutnya, kunjungan pimpinan gereja ini semakin menambah tekanan terhadap pemerintah daerah dan TPL untuk segera mencari solusi yang adil bagi Masyarakat Adat di Tano Batak. Konflik ini menunjukkan bahwa Masyarakat Adat terus berjuang mempertahankan hak-haknya, sementara keberpihakan gereja menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga keadilan moral dan sosial.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak

Writer : Maruli Simanjuntak | Jakarta
Tag : Tutup TPL HKI